Rabu, 20 Juni 2012

Sya’ban dan Malam Nisfu Sya’ban


Dalil Bulan Sya’ban dan Malam Nisfu Sya’ban
Bulan Sya’ban adalah bulan dimana amal shalih yang dilakukan manusia, diangkat ke langit. Hal tersebut didasarkan pada hadits Rasulullah SAW yang artinya :
Dari Usamah bin Zaid berkata:
Saya bertanya: “Wahai Rasulullah SAW, saya tidak melihat engkau puasa disuatu bulan lebih banyak melebihi bulan Sya’ban?

Rasul saw bersabda: ”Bulan tersebut banyak dilalaikan manusia, antara Rajab dan Ramadhan, yaitu bulan diangkat amal-amal kepada Rabb alam semesta, maka saya suka amal saya diangkat sedang saya dalam kondisi puasa? ( HR: Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Huzaimah).


Di samping itu bulan Sya’ban yang letaknya persis sebelum Ramadan seolah menjadi masa pelatihan beribadah untuk menyambut Ramadhan. Sehingga isyaratnya adalah kita perlu menyiapkan bekal ibadah untuk menyambut bulan Ramadhan.

Dalam hal mempersiapkan hati atau ruhiyah, Rasulullah SAW mencontohkan kepada umatnya dengan memperbanyak puasa di bulan Sya’ban , sebagaimana yang diriwayatkan ‘Aisyah ra. berkata:
“Saya tidak melihat Rasulullah SAW menyempurnakan puasanya, kecuali di bulan Ramadan.Dan saya tidak melihat dalam satu bulan yang lebih banyak puasanya kecuali pada bulan Sya’ban.”(HR Muslim).

Sedangkan khusus dalam keutamaan malam pertengahan bulan Sya’ban (nisfu Sya’ban), memang ada dalil yang mendasarinya meski tidak terlalu kuat. Diantaranya hadits berikut ini :
“Sesungguhnya Allah SWT bertajalli (menampakkan diri) pada malam nisfu Sya’ban kepada hamba-hamba-Nya serta mengabulkan doa mreka, kecuali sebagian ahli maksiat.”

Sayangnya hadits ini tidak mencapai derajat shahih kecuali hanya dihasankan oleh sebagian orang dan didhaifkan oleh sebagian lainnya. Sebenarnya kalau dilihat dari kaca mata para ahli hadits, praktek ibadah ritual yang dilakukan oleh sebagian saudara kita di malam ke-15 bulan Sya’ban (nisfu sya’ban), tidak didukung dengan hadits yang mencapai derajat shahih kepada Rasulullah SAW.

Namun bukan berarti apa yang dikerjakan itu otomatis menjadi haram atau kemungkaran yang harus diperangi. Sebab ternyata kita menemukan dalil-dalil yang meski tidak sampai derajat shahih, tetapi juga tidak sampai dhaif apalagi palsu. Hadits-hadits itu mencapai derajat hasan. Setidaknya, kesimpulan kita adalah bahwa derajat kekuatan tiap hadits itu memang jadi perbedaan pandangan kalangan ahli hadits.

Jadi perkara ini memang menjadi wilayah khilaf di kalangan ulama. Sebagian mentsabatkan hal itu namun sebagian tidak. Dan selama suatu masalah masih menjadi khilaf ulama, setidaknya kita tidak perlu langsung menghujat apa yang dilakukan oleh saudara kita bila ternyata tidak sama dengan apa yang kita yakini.
Dalil yang dinyatakan hasan:

Sesungguhnya Allah ‘Azza Wajalla turun ke langit dunia pada malam nisfu sya’ban dan mengampuni lebih banyak dari jumlah bulu pada kambing Bani Kalb (salah satu kabilah yang punya banyak kambing).(HR At-Tabarani dan Ahmad)

Namun Al-Imam At-Tirmizy menyatakan bahwa riwayat ini didhaifkan oleh Al-Bukhari.
Selain hadits di atas, juga ada hadits lainnya yang meski tidak sampai derajat shahih, namun oleh para ulama diterima juga.

Dari Aisyah radhiyallahu anha berkata bahwa Rasulullah SAW bangun pada malam dan melakukan shalat serta memperlama sujud, sehingga aku menyangka beliau telah diambil.

Ketika beliau mengangkat kepalanya dari sujud dan selesai dari shalatnya, beliau berkata, “Wahai Asiyah, (atau Wahai Humaira’), apakah kamu menyangka bahwa Rasulullah tidak memberikan hakmu kepadamu?” Aku menjawab, “Tidak ya Rasulallah, namun Aku menyangka bahwa Anda telah dipanggil Allah karena sujud Anda lama sekali.” Rasulullah SAW bersabda, “Tahukah kamu malam apa ini?” Aku menjawab, “Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui.”

Beliau bersabda, “Ini adalah malam nisfu sya’ban (pertengahan bulan sya’ban). Dan Allah muncul kepada hamba-hamba-Nya di malam nisfu sya’ban dan mengampuni orang yang minta ampun, mengasihi orang yang minta dikasihi, namun menunda orang yang hasud sebagaimana perilaku mereka.” (HR Al-Baihaqi)

Al-Baihaqi meriwayatkan hadits ini lewat jalur Al-’Alaa’ bin Al-Harits dan menyatakan bahwa hadits ini mursal jayyid. Hal itu karena Al-’Alaa’ tidak mendengar langsung dari Aisyah ra.
Ditambah lagi dengan satu hadits yang menyebutkan bahwa pada bulan Sya’ban amal-amal manusia dilaporkan ke langit. Namun hadits ini tidak secara spesifik menyebutkan bahwa hal itu terjadi pada malam nisfu sya’ban.

Dari Usamah bin Zaid ra bahwa beliau bertanya kepada nabi SAW, “Saya tidak melihat Andaberpuasa (sunnah) lebih banyak dari bulan Sya’ban.”
Beliau menjawab, “Bulan sya’ban adalah bulan yang sering dilupakan orang dan terdapat di antara bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan itu adalah bulan diangkatnya amal-amal kepada rabbul-alamin. Aku senang bila amalku diangkat sedangkan aku dalam keadaan berpuasa.” (HR An-Nasai)

Jadi, terlepas dari keyakinan kita masing-masing yang merupakan hak kita untuk mengikutinya, namun hak kita dibatasi oleh adanya hak saudara kita dalam kebebasan berekspresi dalam ijtihad mereka, selama masih dalam koridor manhaj yang benar. Tidak perlu saling menghujat bid’ah. Semua amalan tergantung dari niat dan ada pertanggungjawaban masing-masing.

Sumber: DT, salafy, eramuslim, dll.
http://suryawardana.com/islam/dalil-bulan-syaban-dan-malam-nisfu-syaban