Kamis, 17 Mei 2012

GerAkAn ShOLaT SeMbuHkAn PEnyAkiT

Gerakan shalat.

Shalat ternyata tidak hanya menjadi amalan utama di akhirat nanti, tetapi gerakan-gerakan shalat paling proporsional bagi anatomi tubuh manusia. Bahkan dari sudut medis, shalat adalah gudang obat dari berbagai jenis pnyakit.

Allah, Sang Maha Pencipta, tahu persis apa yang sangat dibutuhkan oleh ciptaanNya, khususnya manusia. Semua perintahNya tidak hanya bernilai ketakwaan, tetapi juga mempunyai manfaat besar bagi tubuh manusia itu sendiri. Misalnya, puasa, perintah Allah di rukun Islam ketiga ini sangat diakui manfaatnya oleh para medis dan ilmuwan dunia barat. Mereka pun serta merta ikut berpuasa untuk kesehatan diri dan pasien mereka.

Begitu pula dengan shalat. Ibadah shalat merupakan ibadah yang paling tepat untuk metabolisme dan tekstur tubuh manusia. Gerakan-gerakan di dalam shalat pun mempunyai manfaat masing-masing. 

Misalnya:

Takbiratul Ihram
Berdiri tegak, mengangkat kedua tangan sejajar tlinga, lalu melipatnya di depan perut atau dada bagian bawah. Gerakan ini bermanfaat untuk melancarkan aliran darah, getah bening (limfe), dan kekuatan otot lengan. Posisi jantung di bawah otak memungkinkan darah mengalir lancer ke seluruh tubuh. Saat mengangkat kedua tangan, otot bahu meregang sehingga aliran darah kaya oksigen menjadi lancer. Kemudian kedua tangan didekapkan di depan perut atau dada bagian bawah. Sikap ini menghindarkan dari berbagai gangguan persendian, khususnya pada tubuh bagian atas.

Ruku’
Ruku’ yang sempurna ditandai tulang belakang yang lurus sehingga bila diletakkan segelas air di atas punggung tersebut tak akan tumpah. Posisi kepala lurus dengan tulang belakang. Gerakan ini bermanfaat untuk menjaga kesempurnaan posisi serta fungsi tulang belakang (corpus vertebrae) sebagai penyangga tubuh dan pusat saraf. Posisi jantung sejajar dengan otak, maka aliran darah maksimal pada tubuh bagian tengah. Tangan yang bertumpu di lutut berfungsi untuk merelaksasikan otot-otot bahu hingga ke bawah. Selain itu, rukuk adalah sarana latihan bagi kemih sehingga gangguan prostate dapat dicegah.

I’tidal
Bangun dari ruku’, tubuh kembali tegak setelah mengangkat kedua tangan setinggi telinga. I’tidal merupakan variasi dari postur setelah ruku’ dan sebelum sujud. Gerakan ini bermanfaat sebagai latihan yang baik bagi organ-organ pencernaan. Pada saat I’tidal dilakukan, organ-organ pencernaan di dalam perut mengalami pemijatan dan pelonggaran secara bergantian. Tentu memberi efek melancarkan pencernaan.

Sujud
Menungging dengan meletakkan kedua tangan, lutut, ujung kaki, dan dahi pada lantai. Posisi sujud berguna untuk memompa getah bening ke bagian leher dan ketiak. Posis jantung di atas otak menyebabkan daerah kaya oksigen bisa mengalir maksimal ke otak. Aliran ini berpengaruh pada daya pikir seseorang. Oleh karena itu, sebaiknya lakukan sujud dengan tuma’ninah, tidak tergesa-gesa agar darah mencukupi kapasitasnya di otak. Posisi seperti ini menghindarkan seseorang dari gangguan wasir. Khusus bagi wanita, baik ruku’ maupun sujud memiliki manfaat luar biasa bagi kesuburan dan kesehatan organ kewanitaan.

Duduk di antara sujud
Duduk setelah sujud terdiri dari dua macam yaitu iftirosy (tahiyat awal) dan tawarru’ (tahiyat akhir). Perbedaan terletak pada posisi telapak kaki. pada saat iftirosy, tubuh bertumpu pada pangkal paha yang terhubung dengan saraf nervus Ischiadius. Posisi ini mampu menghindarkan nyeri pada pangkal paha yang sering menyebabkan penderitanya tak mampu berjalan. Duduk tawarru’ sangat baik bagi pria sebab tumit menekan aliran kandung kemih (uretra), kelenjar kelamin pria (prostate) dan saluran vas deferens. Jika dilakukan dengan benar, posisi seperti ini mampu mencegah impotensi. Variasi posisi telapak kaki pada iftirosy dan tawarru’ menyebabkan seluruh otot tungkai turut meregang dan kemudian relaks kembali. Gerak dan tekanan harmonis inilah yang menjaga kelenturan dan kekuatan organ-organ gerak kita.

Salam
Gerakan memutar kepala ke kanan dank e kiri secara maksimal. Salam bermanfaat untuk bermanfaat untuk merelaksasikan otot sekitar leher dan kepala menyempurnakan aliran darah di kepala sehingga mencegah sakit kepala serta menjaga kekencangan kulit wajah.
Gerakan sujud tergolong unik. Sujud memiliki falsafah bahwa manusia meneundukkan diri serendah-rendahnya, bahkan lebih rendah dari pantatnya sendiri. Dari sudut pandang ilmu psikoneuroimunologi (ilmu mengenai kekebalan tubuh dari sudut pandang psikologis) yang di dalami Prof. Soleh, gerakan ini mengantarkan manusia pada derajat setinggi-tingginya. Mengapa?
Dengan melakukan gerakan sujud secara rutin, pembuluh darah di otak terlatih untuk menerima banyak pasokan oksigen. Pada saat sujud, posisi jantung berada di atas kepala yang memungkinkan darah mengalir maksimal ke otak. Artinya, otak mendapatkan pasokan darah kaya oksigen yang memacu kerja sel-selnya. Dengan kata lain, sujud yang tuma’ninah dan kontinu dapat memicu peningkatan kecerdasan seseorang.

Setiap inci otak manusia memerlukan darah yang cukup untuk berfungsi secara normal. Darah tidk akan memasuki urat saraf di dalam otak melainkan ketika seseorang sujud dalam shalat. Urat saraf tersebut memerlukan darah untuk beberapa saat tertentu saja. Ini berarti, darah akan memasuki bagian urat tersebut mengikuti waktu shalat, sebagaimana yang telah diwajibkan dalam Islam.

Riset di atas telah mendapat pengakuan dari Harvard University, Amerika Serikat. Bahkan seorang dokter berkebangsaan Amerika yang tak dikenalnya menyatakan diri masuk Islam setelah diamdiam melakukan riset pengembangan khusus mengenai gerakan sujud. Di samping itu, gerakan-gerakan dalam shalat sekilas mirip gerakan yoga ataupun peregangan (stretching). Intinya, berguna untuk melenturkan tubuh dan melancarkan peredaran darah. Keunggulan shalat dibandingkan gerakan lainnya adalah di dalam shalat kita lebih banyak menggerakkan anggota tubuh, termasuk jari-jari kaki dan tangan.

Sujud adalah latihan kekuatan otot tertentu, termasuk otot dada. Saat sujud, beban tubuh bagian atas ditumpukan pada lengan hingga telapak tangan. Saat inilah kontraksi terjadi pada otot dada, bagian tubuh yang menjadi kebanggan wanita. Payudara tak hanya menjadi lebih indah bentuknya tetapi juga memperbaiki fungsi kelenjar air susu di dalamnya.

Masih dalam posisi sujud, manfaat lain yang bisa dinikmati kaum hawa adalah otot-otot perut (rectus abdominis dan obliqus abdominis externus) berkontraksi penuh saat pinggul serta pinggang terangkat melampaui kepala dan dada. Kondisi ini melatih organ di sekitar perut untuk mengejan lebih dalam dan lebih lama yang membantu dalam proses persalinan. Karena di dalam persalinan dibutuhkan pernapasan yang baik dan kemampuan mengejan yang mencukupi. Bila otot perut telah berkembang menjadi lebih besar dan kuat, maka secara alami, otot ini justru menjadi elastis. Kebiasaan sujud menyebabkan tubuh dapat mengembalikan dan mempertahankan organ-organ perut pada tempatnya kembali (fiksasi).

Setelah melakukan sujud, kita melakukan gerakan duduk. Dalam shalat terdapat dua jenis duduk: iftirosy (tahiyat awal) dan tawaru’ (tahiyat akhir). Hal terpenting adalah turut berkontraksinya otot-otot daerah perineum. Bagi wanita, di daerah ini terdapat tiga liang yaitu liang persenggamaan, dubur untuk melepas kotoran, dan saluran kemih. Saat tawarru’, tumit kaki kiri harus menekan daerah perineum. Punggung kaki harus diletakkan di atas telapak kaki kiri dan tumit kaki kanan harus menekan pangkal paha kanan. Pada posisi ini tumit kaki kiri akan memijit dan menekan daerah perineum. Tekanan lembut inilah yang memperbaiki organ reproduksi di daerah perineum.
Pada dasarnya, seluruh gerakan shalat bertujuan meremajakan tubuh. Jika tubuh lentur, kerusakan sel dan kulit sedikit terjadi. Apalagi jika dilakukan secara rutin, maka sel-sel yang rusak dapat segera tergantikan. Regenerasi pun berlangsung dengan lancar. Alhasil, tubuh senantiasa bugar.

Menuru penelitian Prof. Dr. Muhammad Soleh dalam desertasinya yang berjudul “Pengaruh Shalat Tahajud terhadap Peningkatan Perubahan Respon Ketahanan Tubuh Imonologik: Suatu Pendekatan Neuroimunologi” dengan desertasi itu, Soleh berhasil meraih gelar doctor dalam bidang ilmu kedokteran pada program pasca sarjana Universitas Surabaya yang dipertahankannya beberapa waktu lalu.

Shalat tahajud ternyata bukan hanya sekedar shalat tambahan (sunah muakkad), tetapi jika dilakukan secara rutin dan ikhlas akan bisa mengatasi penyakit kanker. Secara medis, shalat tahajud mampu menumbuhkan respons ketahanan tubuh (imunologi) khususnya pada imunoglobin M, G, A, dan limfositnya yang berupa persepsi serta motivasi positif. Selain itu, juga dapat mengefektifkan kemampuan individu untuk menanggulangi masalah yang dihadapi.

Selama ini, ulama melihat ikhlas hanya sebagai persoalan mental psikis. Namun, sebetulnya permasalahan ini dapat dibuktikan dengan teknologi kedokteran. Ikhlas yang selama ini dipandang sebagai misteri dapat dibuktikan secara kuantitatif melalui sekresi hormon kortisol dengan parameter kondisi tubuh. Pada kondisi normal, jumlah kortisol pada pagi hari normalnya antra 38-690 nmol/liter. Sedangkan pada malam hari atau setelah pukul 24.00, jumlah ini meningkat menjadi 69-345 nmol/liter.

“Kalau jumlah hormone kortisolnya normal, dapat diindikasikan bahwa orang tersebut tidak ikhlas karena merasa tertekan. Demikian juga sebaliknya,” ujarnya seraya menegaskan temuannya ini membantah paradigma lama yang menganggap ajaran agama Islam semata-mata dogma atau doktrin.
Menurut Dr. Soleh, orang stress biasanya rentan sekali terhadap penyakit kanker dan infeksi. Dengan melakukan tahajud secara rutin dan disertai perasaan ihklas serta tidak terpaksa, seseorang akan memiliki respon imun yang baik serta besar kemungkinan terhindar dari penyakit infeksi dan kanker. Berdasarkan perhitungan medis, shalat tahajud yang demikian menyebabkan seseorang memiliki ketahanan tubuh yang baik.

Sumber: Eramuslim

Rabu, 16 Mei 2012

Hidup Tak Mulia, Mati Tak Syahid


Hidup Tak Mulia, Mati Tak Syahid

DALAM suatu hadis Kudsi dika­takan, “barang siapa tak mampu men­cukupi dirinya di dunia, tak ada tempat baginya di surga.” Ke­cukupan yang dimaksud bukan hanya kecukupan material, tetapi juga ke­cukupan mental. Pada kenyataannya, per­sepsi tentang kecukupan bersifat subjektif, karena itu sangat ditentukan oleh kondisi mental-kejiwaan seseorang.

Kemiskinan material memang bisa men­dekatkan seseorang pada kekufuran, tetapi kemiskinan mental lebih gawat dari itu: kehinaan di dunia dan akhirat. Da­lam kemiskinan mental, orang tak bisa melihat sisi positif pengalaman hi­dupnya. Siapa yang tak bisa berdamai de­ngan masa lalunya tak bisa melihat ke­baikan hari ini. Siapa yang tidak bisa melihat kebaikan hari ini, tak bisa me­lihat harapan kebahagiaan pada kehidupan mendatang di dunia. Siapa yang tak bisa melihat kebahagiaan hidup di dunia, berharap segera memperoleh ke­bahagiaan di akhirat dengan cepat-ce­pat mengakhiri hidupnya.

Orang-orang miskin mental memang be­rani mati, tetapi tak berani hidup. Pa­dahal, tidak ada jalan pintas menuju sur­ga. Janji-janji surgawi hanya bisa diraih lewat keberanian hidup, kesabaran berjuang mengatasi tantangan dan ma­salah zaman, dalam rangka membe­rikan kebahagiaan hidup warga bumi.

Dalam kemiskinan mental, orang ju­ga tak bisa hidup dalam perbedaan. Per­bedaan selalu dipandang dengan ke­curigaan dan permusuhan. Dalam ke­sempitan mental, tak bisa muncul ke­besaran jiwa.

Berbeda dengan langit, yang dalam keluasannya mampu memberikan ruang bagi matahari, bulan, bintang, dan semua yang terkait dengannya, Orang yang sempit jiwanya, tak bisa menerima kehadiran yang lain. Perbedaan harus dihabisi dengan pengucilan dan penyerangan.

Dalam aksi-aksi terorisme, kebencian pada perbedaan dan jalan pintas menuju surga menyatu dalam aksi bom bunuh diri. Pekik yang dikumandangkan, “Hidup mulia atau mati syahid”. Na­mun kenyataannya, “Hidup tak mulia, mati pun tak syahid”. Ke­­bencian pada hidup membuat hidupnya di dunia tak bisa mulia. Sia­pa yang tak bisa hidup mu­lia di du­nia tidak mengem­bangkan ke­syahidan (kesungguhan) menjelang kematian -dengan keberanian mengolah kehidupan- melainkan mengembangkan kepengecutan dengan bunuh diri dan mem­bunuh orang. Orang yang ma­ti syahid me­wariskan kebahagiaan dan kebaikan pada kehidupan. Orang yang mati pengecut mewariskan ke­sengsaraan dan keburukan pada kehidupan.

Dengan demikian, terorisme bukanlah sebab, melainkan korban dari kemiskinan (material dan mental). Seperti diutarakan da­lam ‘Pesan Ramadan Vatikan, “Kemiskinan telah menodai dan merendahkan martabat manusia/kemanusiaan dan tidak jarang menjadi penyebab keterasingan, kemarahan, bahkan kebencian dan hasrat untuk membalas dendam.” Usaha pemberantasannya ti­dak cukup dengan mengem­bang­kan kekerasan dan pembunuhan serupa, melainkan perlu mengata­si akar permasalahannya.

Terorisme muncul akibat ter­gang­gunya basis-basis keadilan dan dunia kehidupan. Keadilan hu­kum terganggu ketika rule of law tidak berjalan. Jika warga ne­gara gagal memperoleh perlin­dungan dari negara, secara alamiah mereka akan mencari perlin­dungan dari sumber-sumber yang lain; bisa dalam bentuk premanis­me, koncoisme, etnosentrisme, dan fundamentalisme.

Ketidakadilan ekonomi me­nyulut kesempitan jiwa (fanatisis­me). Fanatisisme berkembang subur saat berhadapan dengan ketimpangan ekonomi-politik. Ketimpangan ini sebagian merupakan warisan aneka diskriminasi kolonial maupun rezim-rezim oto­riter pascakolonial. Tetapi, sum­ber ketimpangan sosial-ekonomi baru yang tidak kalah penting adalah konsekuensi globalisasi dan neoliberalisme.

Globalisasi dan perluasan eko­nomi pasar tidak selalu membe­rikan kabar gembira. Bagi keba­nyakan masyarakat terbelakang, ke­duanya lebih sering membawa bencana. Globalisasi adalah anak kandung modernitas, sedangkan mo­dernitas adalah kelanjutan proyek pencerahan yang belum se­lesai. Proyek pencerahan ini mengandaikan kepercayaan kepada prinsip-prinsip universal, ka­rena prinsip-prinsip tersebut da­pat berlaku dalam situasi lintas sejarah dan budaya dengan se­gala keunikannya. Prinsip yang bertumpu atas dasar univer­salitas ini sering tidak mewadahi semua keinginan dan harapan warga dunia sehingga acapkali me­lahirkan kekerasan.

Kekerasan merupakan respons balik sebagian kalangan terha­dap upaya globalisasi seluruh tat­anan; politik, sosial, ekonomi, bu­daya, bahkan agama. Di satu sisi, globalisasi memberikan kemudahan terpenuhinya segala kebutuhan manusia serta membuka peluang bagi kompetisi global. Di sisi lain, globalisasi men­ciptakan ketidakadilan distributif dan tercerabutnya manusia dari akar eksistensinya.

Globalisasi, menurut Habermas, merupakan keniscayaan se­jarah, tetapi juga telah mengin­jeksikan kepalsuan dalam spiral komunikasi sehingga dalam prak­tiknya sering melahirkan dis­torsi komunikatif. Resistensi dari sebagian kelompok tertentu bah­kan memanifestasi dalam tin­dakan teror yang ditimbulkan oleh distorsi komunikasi. Globa­lisasi secara kejam telah membagi dunia ke dalam kelompok pe­menang dan pecundang.

Terorisme berjalin-berkelindan dengan pemahaman fanatis-dogmatis dalam menafsirkan doktrin-doktrin agama ketika meres­pons modernitas. Fundamentalis­me adalah reaksi terhadap kegagalan sekularisasi dan ekstensifikasi rasionalitas instrumental atas dunia kehidupan (Lebens­welt), yang telah mencerabut bentuk-bentuk kehidupan tradisio­nal mereka. Ketercerabutan yang diikuti oleh homogenisasi budaya dan identitas membuat war­ga masyarakat mengalami kete­r­­asingan dari komunitasnya. De­ngan demikian, fundamentalisme bukanlah sesederhana gerak kembali kepada cara pra-modern dalam memahami agama, tetapi lebih sebagai respons panik dalam menghadapi modernitas dan globalisasi.

Berbeda dengan Huntington yang melihat akar tunjang terorisme pada bentrok antar peradaban (baca: agama), Habermas menjangkarkannya pada ketimpangan ekonomi-pasar, meskipun punya implikasi keagamaan. Menurutnya, ekonomi pasar menyuburkan konsumerisme, yang melahirkan ledakan di tengah lapisan penduduk dunia yang merasa paling dirugikan berupa reaksi spiritual sebagai alternatif mengatasi masalah global. Reaksi ini termanifestasi dalam sikap religius yang berlebihan dan menutup kemungkinan komunikasi dengan dunia luar.

Singkat kata, betapapun kita membenci terorisme, kemunculannya harus menjadi bahan kritik bagi seluruh warga bumi untuk mengembangkan kehidup­an glo­bal yang lebih adil dan beradab.


Oleh Dr Yudi Latif, kepala Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia (PSIK-Indonesia)
Sumber: Jawapos, 30 September 2009

ManFaaT BeRDo'A

Manfaat Berdoa

BERDOA : yang secara etimologis berarti "meminta kepada Allah" -- mempunyai tujuan-tujuan yang bukan saja bersifat ukhrawi, melainkan juga bersifat duniawi. karena doa bukanlah untuk kepentingan Allah melainkan untuk kepentingan manusia itu sendiri. Kalaupun kita berdoa untuk memohon segala "sesuatu yang kita butuhkan, yang kita inginkan, ataupun untuk menenangkan diri dari segala kesusahan", namun doa mempunyai beberapa faidah yang tak terhingga.

Syekh Sayyid Tantawi, syaikhul Azhar di Mesir, merangkum manfaat doa itu dalam tiga poin:

Pertama: doa berfungsi untuk menunjukkan keagungan Allah swt kepada hamba-hambaNya yang lemah. Dengan doa seorang hamba menyadari bahwa hanya Allah yang memberinya nikmat, menerima taubat, yang memperkenankan doa-doanya. 

Allah swt. berfirman:
…atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati-Nya (QS. An Naml:62).

Tak ada satupun anugerah yang bisa diberikan kecuali oleh Allah swt yang Maha Pemberi, yang membuka pintu harapan bagi hamba-hamba-Nya yang berdosa sehingga sang hamba tidak dihadapkan pada keputusasaan. Bukankah Allah swt berjanji akan selalu mengabulkan doa hamba-hambaNya? "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu". (QS Ghafir: 60)

Janji Allah untuk mengabulkan doa kita merupakan tahrid (motivasi) untuk bersegera berbuat baik, dan tarbiyah (mendidik) agar kita mengakui dan merasakan nikmat Allah sehingga jiwa kita semakin terdorong untuk selalu bersyukur. Sebab rasa syukur itu pula yang mendorongnya untuk bersungguh-sungguh dalam beribadah.

Kedua. doa mengajari kita agar merasa malu kepada Allah. Sebab manakala ia tahu bahwa Allah akan mengabulkan doa-doanya, maka tentu saja ia malu untuk mengingkari nikmat-nikmatNya.

Bahkan manakala manusia sudah berada dalam puncak keimanan yang kuat sekalipun, maka ia akan lebih dekat lagi (taqarrub) untuk mensyukuri nikmat-Nya. Hal ini dicontohkan oleh nabi Sulaiman as. ketika berdoa: "Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang jua pun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi." (QS. An Naml: 35).

Maka Allah pun mengabulkannya. Nabi Sulaiman bertanya kepada semua makhluk siapa yang mampu memindahkan singgasana Balqis ke hadapannya. Salah satu ifrit yang tunduk atas perintah nabi Sulaiman berkata: "Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya".

Ternyata benar, ifrit dari golongan jin itu datang membawa singgasana Balqis dari Saba (Yaman) ke Syria tidak kurang dari kedipan mata. Menyaksikan nikmat yang ada di "hadapannya", nabi Sulaiman lantas berkata: "Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barang siapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barang siapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia".

Ketiga. Doa mengalihkan hiruk-pikuk kehidupan dunia ke haribaan tafakur dan kekudusan munajat ke hadirat Allah swt, memutuskan syahwat duniawi yang fana menuju ketenangan hati dan ketentraman jiwa. Wallahu a'lam.


Sumber: Direktur Eksekutif Sanggar Seni dan Budaya "Kinanah", Mahasiswa Akidah dan Filsafat Al Azhar university, Kairo.

Senin, 14 Mei 2012

TipU dAYa YaNg MeNIMpA ULamA

Tipu Daya yang Menimpa Ulama

Kalangan Ulama ini ada beberapa golongan.
Salah satu golongan dari mereka, adalah kalangan yang terlalu mendalami ilmu-ilmu syari’at dan ilmu-ilmu rasionaI. Mereka sibuk dengan disiplin tersebut, namun mengabaikan penjagaan dirinya dari tindakan maksiat dan mengabaikan ketaatan. Mereka terpedaya oleh ilmunya sendiri. Anehnya, mereka menyangka memiliki posisi di hadapan Allah swt. Bahkan mereka berasumsi bahwa Allah tidak akan menyiksanya, karena ilmunya telah mencapai suatu tahap tertentu. Mereka merasa bisa memberi syafaat terhadap orang lain, dan mereka tidak terkena tuntutan dosa dan kesalahannya.

Mereka sebenarnya tertipu. Kalau saja mereka mau melihat dengan mata hati, pasti mereka akan menemukan titik pandang bahwa ilmu itu terbagi menjadi dua: Ilmu Muamalat dan Ilmu Mukasyafah, yaitu pengetahuan terhadap Allah swt. dan Sifat-sifat-Nya. Sementara Ilmu Muamalat berfungsi sebagai komplementer hikmah yang dituju, yaitu pengetahuan tentang halal dan haram, pengetahuan etika jiwa yang tercela dan terpuji.

Mereka itu seperti seorang dokter yang mampu mengobati orang lain, sedangkan ia sendiri ketika sakit sebenarnya mampu mengobati dirinya sendiri, tetapi hal itu tidak dilakukan. Lalu apa gunanya pengobatan tersebut? Sungguh jauh dari harapan, di mana terapi tidak akan bermanfaat kecuali orang yang mau meminum obat tersebut setelah merasakan demam. Mereka melupakan firman Allah swt.:
"Sungguh benar-benar berbahagia orang yang menyucikan jiwa dan benar-benar merugi orang yang mengotorinya". (Q.S. asy-Sayms: 9-10).

Allah tidak berfirman, "Barangsiapa yang mengetahui penyucian jiwa dan menulis ilmunya, serta mengajarkannya kepada manusia".

Mereka pun alpa terhadap sabda Nabi saw.:
"Barangsiapa bertambah ilmunya dan tidak tambah hidayahnya, maka tidak akan bertambah dari Allah kecuali jauh dari-Nya".

"Sesungguhnya orang yang paling tersiksa di hari Kiamat adalah seorang ilmuwan yang tidak diberi oleh Allah kemanfaatan atas ilmunya".

Dan hadis-hadis lainnya yang sepadan. Mereka itu adalah para Ulama yang tertimpa tipudayanya sendiri, dan semoga Allah menjaga kita dari tingkah laku mereka. Mereka sebenarnya terhimpit oleh kecintaan duniawi, egoisme dan mencari kemudahan dunia saja, sembari berangan-angan bahwa ilmunya mampu menyelamatkan dirinya di akhirat tanpa harus beramal.

Kelompok Pertama:
Sedangkan kelompok Ulama lainnya menekuni ilmunya dan amal-amal lahiriah, meninggalkan maksiat-maksiat lahiriah, namun alpa dengan kondisi ruhani jiwanya. Mereka tidak mau menghapus sifat-sifat tercelanya di hadapan Allah swt. seperti: sombong, riya’, dengki, ambisi posisi dan status, berhasrat buruk kepada sesama teman, mencari popularitas di tengah-tengah negeri dan penduduknya. Semua itu merupakan tipudaya, yang disebabkan oleh kealpaannya terhadap hadis Nabi saw.:

"Riya’ adalah syirik kecil".
"Dengki itu memakan kebaikan seperti api menghanguskan kayu kering".
"Cinta harta dan kemuliaan bisa menimbulkan kemunafikan dalam hati, seperti air menumbuhkan sayur mayur".
Dan hadis-hadis lainnya. Mereka pun melupakan firman Allah swt.:
"Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih". (Q.S. asy-Syu’ara’: 89).

Mereka alpa hatinya dan cukup dengan kesibukan amal lahiriah belaka. Padahal yang hatinya tidak patuh, tidak akan sah taatnya. Ia ibarat orang berpenyakit kudis, lantas dokter memerintahkan untuk mengoleskan dan meminum obat, tetapi ia hanya sibuk mengoleskan kulit luar saja, tanpa meminum obat. Akhirnya, penyakit luar hilang tetapi penyakit dalamnya masih bercokol. Padahal akar penyakit itu justru dari dalam, karenanya semakin bertambahlah penyakit dalamnya. Seandainya sumber penyakit dari dalam hilang, pasti yang di luar semakin ringan. Begitu pula kotoran-kotoran manakala bertengger dalam hati, akan tampak pengaruhnya pada fisik.

Kelompok Kedua:
Sekelompok Ulama lain mengenal etika batin dan mengetahui bahwa pelanggaran tersebut dicaci oleh syari’at. Hanya saja, karena mereka terlalu berbangga dan kagum pada diri sendiri, mereka menduga dirinya lepas dari cacian tersebut. Di sisi Allah, menurut mereka, telah bebas dari cobaan seperti itu. Mereka yang dicaci adalah kalangan awam, bukan pada pihak yang telah sampat pada taraf ilmu pengetahuan.

Sementara mereka kalangan Ulama merasa bebas dari sanksi tersebut, sehingga mereka terjerumus dalam khayalan kebesaran dan jenjang tahta, ambisi keluhuran dan kehormatan, dan mereka tertipu oleh dugaan mereka sendiri, bahwa cara yang mereka tempuh itu bukan sebagai tindak kesombongan. Mereka beralasan apa yang dilakukan, sebagai upaya memuliakan agama, menampakkan kemuliaan pengetahuan dan membantu agama Allah. Mereka Iupa pesta iblis karena tindakan mereka itu, mereka juga alpa bagaimana sebenarnya kontribusi Nabi saw. dan bagaimana kehinaan orang-orang kafir. Mereka juga lupa, bagaimana para sahabat bertawadhu’, merasa rendah hati, miskin dan tempat tinggal apa adanya. Sehingga Umar bin Khaththab r.a. pernah dikritik karena pakaiannya yang lusuh setibanya di Syam. Lalu Umar berkata, "Kami adalah kaum dimana Allah meninggikan kami dengan Islam. Kami tidak mencari kemuliaan selain Islam."

Kemudian tipudaya lain, memakai pakaian kebesaran untuk meraih kemuliaan agama, dan ia menduga bahwa dirinya memuliakan ilmu dan menghormati agama dengan tindakannya. Ketika mereka membahas rasa dengki teman-temannya atau mereka yang kontra terhadap ucapannya, ia tidak menduga bahwa tindakannya itu pun merupakan kedengkian pula.

Lantas ia berkelit, "Ini merupakan kemarahan demi kebenaran, mengkounter orang batil yang dilakukan melalui permusuhan dan kezalimannya." Tentu tindakannya merupakan tipudaya. Sebab manakala ia menusuk sesama temannya melalui kritiknya, kadang-kadang ia melontarkan bukan dengan amarah, tetapi dengan rasa gembira karena mampu mengkounter temannya. Kalau di hadapan manusia ia tampak marah, padahal hatinya gembira.

Terkadang lontarannya sebagai pamer pengetahuan, sembari berucap, "Tujuan saya, sebenarnya memberi kontribusi faedah kepada manusia," padahal ucapannya itu didasari riya’. Sebab bila tujuannya untuk membuat kebajikan kepada manusia, tentu ia pasti lebih senang bila tindakannya itu dilakukan oleh orang lain yang sepadan atau di atasnya, bahkan orang yang ada di bawahnya.

Kadang-kadang ketika memasuki rumah para penguasa, ia memuji-muji dan menampakkan kecintaannya. Ketika ditanya soal tindakannya itu, ia menjawab, "Tujuan saya adalah untuk kemanfaatan bersama ummat Islam, dan menolak bahaya dari penguasa itu." Padahal ia terkena tipudayanya sendiri. Tentunya, bila memang demikian tujuannya, pasti ia akan senang bila yang melakukan itu orang lain. Seandainya ada seseorang yang berkenan dan sukses perannya di hadapan penguasa, ia justru emosi pada tindakan orang lain itu.

Ketika ia bisa meraih harta dari penguasa, lantas muncul di benaknya bahwa harta itu haram, tiba-tiba syetan berbisik, "Ini harta tanpa pemilik, bisa dipakai untuk kemaslahatan ummat Islam. Andakan pemuka ummat dan pakar mereka. Karena Andalah agama ini bisa tegak."

Di sini ada tiga tipudaya:
Pertama, bahwa ada harta yang tidak ada pemiliknya.
Kedua, demi kemaslahatan ummat Islam.
Ketiga, ia adalah pemuka ummat. Lantas apakah ada seorang pemuka (Imam) kecuali orang yang menolak duniawi seperti para Nabi, para sahabat dan Ulama-ulama ummat yang utama? Dan sepadan mereka, sebagaimana Isa as. berkata, "Seorang alim yang buruk ibarat batu di pinggir jurang, tidak mencerap air tidak pula memancarkan air" yang dialirkan ke pertanian."

Kalangan pakar ilmu pengetahuan ataupun Ulama, banyak yang terpedaya, dan tindakan destruktifnya lebih banyak dibanding reformasi kebajikannya.

Kelompok Ketiga:
Mereka mampu mendefinisikan ilmu-ilmu pengetahuan dan menyucikan fisiknya, menampakkan ketaatan-ketaatannya, menjauhi kemaksiatan-kemaksiatan secara lahiriah, sementara mereka mengabaikan akhlak jiwa dari sifat-sifat qalbu, sehingga tetap memelihara riya’, dengki, takabur, dendam dan ambisi meraih posisi.
Mereka sedang berupaya memerangi diri mereka untuk bebas dari sifat-sifat tersebut, mereka ingin mencabut akar yang tumbuh dalam hatinya, tetapi mereka terpedaya.

Sebab dalam pelataran kalbunya ada sejumlah sisa-sisa tersembunyi, berupa rekayasa syetan dan cacat pengkhianatan nafsu yang semakin dalam dan curam. Mereka tidak mengerti bahkan kemudian mengabaikannya sama sekali. Padahal mereka ibarat orang yang ingin membersihkan tanaman dari rumput, ia mengelilingi tanaman itu dan meneliti setiap jengkal tanaman dan rumput yang ada. Tetapi ia tidak mencabut akar-akar rumput yang ada di dalam tanah, dengan menduga bahwa semuanya sudah selesai. Ketika alpa akan akar-akar rumput dalam tanah itu, rumput tumbuh kembali dan merusak tanaman.

Mereka itu seandainya mau berubah pasti akan berubah. Kadang-kadang mereka tidak mau bergaul dengan sesama, sebagai ekspresi kesombongannya, bahkan memandang mereka dengan sebelah mata. Terkadang mereka melakukan kritik terhadap ijtihad orang lain agar ia tidak dipandang sebelah mata saja.

Kelompok Keempat:
Para Ulama yang meninggalkan pentingnya ilmu pengetahuan. Mereka hanya membatasi ilmu fatwa saja dalam bidang hukum dan peradilan. Mereka lebih banyak menekuni bidang kerja duniawi yang berjalan untuk kebaikan kehidupan. Lantas mereka menekuni bidang ilmu yang disebut dengan fiqih. Mereka sebut disiplin itu dengan fiqih atau ilmu mazhab, sementara bersamaan dengan penekunannya tersebut mereka mengabaikan amal-amal yang lahiriah maupun batiniah. Mereka tidak menjaga fisik, tidak mengendalikan ucapan dari pergunjingan, mencegah perut dari barang haram, dan tidak mencegah untuk melangkah ke rumah-rumah penguasa. Jika demikian seluruh fisiknya, mereka pun tidak bisa mengatur hatinya dari sikap takabur, riya’, dengki dan seluruh sifat-sifat destruktif.

Mereka ini terpedaya oleh dua hal:
Pertama: Dari segi ilmu pengetahuan. Kami telah membangun terapinya dalam kitab Al-Ihya’. Bahwa mereka itu seperti orang sakit yang mengetahui obatnya dari para cendekiawan, namun tidak mau tahu dan tidak mau menggunakannya. Mereka itu sebenarnya disanjung oleh kehancuran, dari segi bahwa mereka meninggalkan penyucian dan konsentrasi hati. Mereka lebih sibuk dengan bab haid, denda, li’an, dzihar, sementara mereka mengabaikan konstruksi di dalam jiwanya. Mereka terpedaya oleh pengagungan orang-orang yang mengelilinginya, karena ia sebagai seorang hakim atau mufti yang menjadi rujukan. Bila mereka berpisah maka mereka saling menusukkan kejelekan masing-masing, namun ketika mereka bertemu, lontaran-lontaran mereka tidak muncul lagi.

Kedua: Juga dari segi ilmu pengetahuan. Bahwa mereka berasumsi, ilmu pengetahuan itu hanya ada pada bidangnya, dengan menduga ilmunya dapat menyelamatkannya. Padahal sarana yang bisa menyelamatkan adalah kecintaannya terhadap Allah swt. Cinta kepada Allah swt. tidak bisa diraih kecuali dengan ma’rifatullah. Ma’rifat ini ada tiga: Ma’rifat Dzat, Ma’rifat Sifat dan Ma’rifat Af’aal. Mereka ibarat orang yang menjual bekal di tengah jalan orang yang sangat membutuhkannya, sementara mereka tidak tahu bahwa fiqih (pemahaman) itu datang dari Allah, mengenal Sifat-Nya yang bersifat menakuti dan mencegah, agar hati senantiasa merasakan ketakutan, menekuni takwa, 

sebagaimana firman-Nya:
"Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa golongan untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya". (Q.S. at-Taubah: 122).

Di antara mereka ada yang membatasi bidang pengetahuan agama tersebut pada bidang fiqih belaka dengan menekuni dimensi polemik antar ulama (khilafiyah). Mereka tidak mencurahkan perhatian kecuali melalui metode perdebatan, disiplin dan menampakkan polemik, mempertahankan kebenaran semata bertujuan untuk bangga diri dan menang-menangan. Sepanjang siang dan malam mereka berdiskusi dalam soal pertentangan antarmazhab, mencaci kekurangan lawan atau terman.

Mereka sebenarnya tidak bertujuan mencari ilmu, tetapi untuk suatu gengsi di hadapan orang lain. Seandainya mereka sibuk dengan penjernihan hatinya, pasti tindakannya lebih baik dibanding pengetahuan yang tak bermanfaat kecuali sekadar manfaat dunia dan kesombongan. Padahal gengsi tersebut akan berubah menjadi neraka yang menjilat di akhirat nanti.
Padahal dalil-dalil mazhab tidak lebih dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw. Betapa buruknya tipudaya yang mereka geluti!

Kelompok Kelima:
Mereka sibuk dengan ilmu Kalam dan polemik, dan sibuk mengkounter lawan-lawannya yang kontra. Mereka memperbanyak wacana logika yang berbeda-beda, dan menekuni doktrin metodologi dalam melawan kelompok lain yang berbeda. Mereka ini ada dua kalangan:

Pertama, kalangan yang sesat dan menyesatkan, mereka terpedaya oleh kealpaannya melalui kesesatan yang dipeluk dengan dugaan kuat bahwa kesesatan itu bisa menyelamatkannya. Kelompok ini terpecah-pecah dan saling mengkafirkan satu sama lainnya. Mereka tersesat karena memvonis suatu pandangan tanpa mengetahui bukti dalil. dan metodologinya. Mereka menganggap dalil syubhat pun bisa dibuat pegangan dan akhirnya buktinya pun syubhat.

kedua, adalah kalangan yang meneliti secara detail, mereka berpandangan bahwa polemik merupakan persoalan prioritas dan menempati posisi utama dalam agama Allah. Mereka berasumsi bahwa tak seorang pun bisa sempurna agamanya sepanjang belum mengkaji detail. Siapa yang membenarkan Allah tanpa membuat penelitian dan kajian terhadap suatu premis, dia tidak dikategorikan sebagai Mukmin yang sempurna dan tidak bisa dianggap dekat dengan Allah swt. Mereka sarma sekali tidak menoleh pada generasi pertama, bahwa Nabi saw. yang disaksikan oleh mereka sebagai makhluk paling utama sama sekali tidak menuntut suatu dalil untuk keimanan seseorang. Abu Umamah al-Bahily r.a. pernah meriwayatkan dari Nabi saw. yang bersada:
"Suatu kaum tidak akan pernah sesat sama sekali kecuali jika perdebatan didatangkan kepada mereka".

Kelompok Keenam:
Mereka sibuk dengan nasihat, mengangkat derajat orang-orang yang membahas seputar akhlak jiwa dan sifat-sifat hati, berupa khauf, raja, sabar; syukur; tawakkal, zuhud, yaqin, ikhlas dan kejujuran. Mereka sebenarnya terkena tipudaya karena dugaannya jika berbicara tentang predikat-predikat tersebut dan berdakwah dengan mengajak manusia untuk mendisiplinkan dengan predikat itu, seakan-akan mereka telah memiliki predikat yang sama. Padahal mereka terlepas dari predikat tersebut kecuali sedikit orang saja, di mana kalangan awam tidak mengetahuinya.

Mereka sebenarnya terbelenggu tipudaya yang dahsyat. Sebab mereka kagum dengan dirinya sendiri.
Mereka menduga, bahwa mereka tidak menyelami ilmu cinta kepada Allah kecuali mereka pasti selamat saat itu.
Mereka pun merasa aman dan terampuni dosanya karena mereka hafal akan ucapan kalangan ahli zuhud, sementara amalnya sepi.
Mereka sebenarnya lebih dahsyat tipudayanya dibanding Ulama sebelumnya. Hal itu disebabkan:

· Mereka menyangka mencintai Allah dan Rasul-Nya, sementara mereka tidak mampu menyelami hakikat ikhlas kecuali mereka benar-benar ikhlas.

· Mereka tidak pernah berpijak pada cacat jiwa yang tersembunyi kecuali mereka merasa suci. Begitu pula seluruh sifat-sifatnya.

· Mereka mencintai dunia namun dengan menampakkan zuhud duniawi, padahal sangat ambisius dengan dunia dan kecintaannya yang kuat.

· Mereka menganjurkan ikhlas sementara mereka tak pernah berlaku ikhlas.

· Mereka menampilkan tindakan berdoa kepada Allah padahal mereka lari dari Allah swt.

· Mereka menampakkan ketakutan terhadap Allah padahal mereka merasa dirinya aman dari siksa Allah.

· Mereka berdzikir kepada Allah tetapi sebenarnya mereka lupa dengan-Nya.

· Mereka merasa dekat dengan Allah padahal mereka jauh dari-Nya.

· Mereka mencaci sifat-sifat tercela sedangkan sifat itu dipakai oleh diri mereka.

· Mereka menampakkan seakan-akan tidak butuh makhluk, namun hatinya ambisius agar manusia mengerumuninya.

Seandainya mereka dihalangi dari majelis-majelisnya di mana manusia berdoa kepada Allah di sana, dunia terasa sempit baginya.

Mereka menyangka melakukan kebajikan kepada manusia, namun seandainya ada orang lain lebih dahulu tampil dan berhasil dihadapannya, ia merasa gelisah dan dengki. Bila ada sebagian sahabatnya yang memuji orang lain yang kontra padanya, ia bersikap emosi kepada sahabatnya itu.
Mereka itu adalah kalangan yang benar-benar terkena tipudaya, dan jauh dari peringatan serta kembali pada jalan yang benar.

KelompokKetujuh:
Mereka beralih orientasi dari kewajiban prioritas dalam nasihat. Mereka adalah penasihat-penasihat zaman ini yang menyimpang, kecuali penasihat yang dilindungi oleh Allah swt. Mereka menekuni ketaatan, melakukan ekstase dan mengutip wacana-wacana dari aturan undang-undang syari’at dan keadilan, semata-mata agar dikagumi. Kelompok lain malah menggunakan kata-kata yang indah, dengan tujuan menciptakan sajak-sajak dan agar disaksikannya perasaan-perasaan bertemu dan berpisah dengan Tuhan.

Orientasi mereka agar dalam majelisnya ada semacam ekstase, walaupun dengan tujuan-tujuan yang destruktif Mereka sebenarnya adalah syetan-syetan manusia yang tersesat dan menyesatkan. Bila kelompok-kelompok di atas tidak introspeksi diri, toh masih ada orang lain yang mengoreksi dan meluruskan tindakan mereka.

Namun untuk kelompok terakhir ini mereka justru menghalangi jalan Allah, dan menyeret manusia pada tujuan-tujuan dan tipudaya kepada Allah dengan wacana-wacana penyimpangan, semata demi kemaksiatan dan kecintaan duniawi. Apalagi jika penasihat tersebut dihiasi dengan pakaian kebesayan dan penampilan, mereka berpidato di hadapan manusia agar selalu patuh, berharap rahmat kepada Allah swt., hingga mereka yang mendengarnya pun malah putus asa terhadap rahmat Allah swt.

Kelompok Kedelapan:
Mereka menerima ucapan ahli-ahli zuhud dan kisah-kisahnya dalam mencaci dunia, lantas mereka mengulanginya menurut apa yang telah dihafalnya tanpa menguasai makna sebenarnya. Salah seorang dari mereka lantas berdiri di atas mimbar memberi nasihat kepada orang lain, dan yang lain memberi nasihat di pasar-pasar sambil mengobrol ke sana-ke mari. Mereka menduga dirinya akan selamat di hadapan Allah, mendapat ampunan dengan menghafal ucapan ahli zuhud sementara amalnya sendiri kosong. Tentu mereka ini lebih dahsyat terpedayanya dibanding sebelumnya.

Kelompok Kesembilan:
Mereka menenggelamkan waktu-waktu mereka dalam bidang ilmu hadis, yakni dalam penyimakan hadis dan seluruh riwayatnya yang banyak. Mereka mencari-cari sanad-sanad yang asing dan tinggi. Hasrat mereka agar bisa berkeliling negeri dan meriwayatkan dari para syeikh, untuk selanjutnya ia bisa mengatakan, "Saya meriwayatkan dari Fulan, dan saya bertemu Fulan, saya mempunyai sanad-sanad yang tidak dimiliki orang lain."

Tipudaya yang melanda mereka ini dari berbagai segi, antara lain mereka seperti pembawa buku. Mereka tidak berkonsentrasi untuk memahami Sunnah dan merenungkan artinya, namun terbatas pada penukilan. Mereka menduga tindakannya itu sudah cukup, Sungguh jauh! Bahkan tujuan mempelajari hadis dari segi makna dan pemahamannya sirna begitu saja. Pertama-tama mempelajari hadis itu adalah mendengarkan, kemudian menghafal, lantas memahami, selanjutnya mengamalkan, baru menyebarkan. Mereka hanya membatasi diri mendengarkan kemudian tidak bisa membuat keputusan hukum dari ilmunya itu. Manakala tidak ada gunanya dengan pembatasan kerja mereka seperti itu, sementara hadis pada zaman ini bisa dibaca oleh anak-anak, mereka terpedaya dan alpa. Sementara syeikh yang membacakan hadis pun kadang-kadang lupa, sampai hadisnya bertumpuk namun tidak mengerti. Si murid bisa jadi tertidur ketika syeikh meriwayatkan hadis, dan sang syeikh tidak tahu ketika murid itu tidur.

Semua itu merupakan tipudaya. Prinsip dalam penyimakan hadis adalah mendengarkannya dari Rasulullah saw, lantas menghafalnya dan menyampaikannya sebagaimana adanya. Riwayat itu lahir dari hafalan, dan hafalan lahir dari penyimakan. Bila penyimakannya lemah dari Rasulullah saw, ia bisa mendengarkan atau menyimak dari sahabat atau tabi’in, sehingga sima’nya dari mereka seperti penyimakannya dari Rasulullah saw. Ia harus memperhatikan dan menghafal sebagaimana para sahabat dan tabi’in menghafal, sehingga tak satu huruf pun yang dilalaikan. Seandainya ragu ia tak berhak meriwayatkannya atau mengajarkannya. Dan ia harus menyalahkan bilamana ada kesalahan.

Penghafalan hadis bisa melalui dua metode. Pertama, melalui hati dengan cara kontinyu dan mengingat-ingat. Kedua, melalui penulisan apa yang didengar dan pentashihan apa yang tertulis, dan kemudian menghafalnya agar tidak ada tangan yang mengubahnya. Dalam hal ini hafalannya tertumpu pada kitab atau buku hadis, seharusnya buku-buku tersebut tersimpan rapi dalam perpustakaan dan terjaga agar tidak diubah orang lain. Ia tidak boleh menulis penyimakan yang dilakukan anak-anak, orang yang lupa dan orang yang tidur. Seandainya itu boleh, pasti penyimakan anak-anak boleh ditulis ketika dalam ayunan.

Dalam penyimakan hadis memang ada syarat-syarat yang cukup banyak. Tujuan mempelajari hadis adalah mengamalkan dan mengetahuinya. Hadis memiliki pemahaman yang banyak sebagaimana al-Qur’an. Riwayat dari Abu Sufyan bin Abul Khair al-Munhy, bahwa dirinya hadir dalam majelis Zahir bin Ahmad as-Sarkhasy. Hadis pertama yang diriwayatkannya adalah sabda Nabi saw.:
"Di antara kebajikan Islamnya seseorang adalah meninggalkan apa yang tak berguna".
Lantas ia berdiri dan berkata, "Ini sudah cukup bagiku hingga aku menuntaskan, kemudian barulah aku menyimak yang lain." Demikian itu merupakan penyimakan yang sebenarnya.

Kelompok Kesepuluh:
Mereka menekuni di bidang ilmu nahwu dan bahasa serta syair dan bahasa-bahasa langka. Mereka terpedaya di sini, karena menduga disiplin ilmunya bisa menyelamatkannya. Mereka merasa sebagai ulama ummat. Karena tegaknya agama dan Sunnah itu disertai ilmu nahwu dan bahasa. Lantas mereka tenggelam dalam bidang tersebut. Sungguh ini keterpedayaan yang besar. Kalau mereka berpikir pasti mereka tahu bahwa bahasa Arab itu seperti juga bahasa Turki. Orang yang mencurahkan hidupnya untuk bahasa Arab seperti orang lain yang mendalami bahasa Turki, India dan yang lainnya. Mereka hanya dibedakan adanya syari’at saja. Padahal bidang bahasa adalah untuk mengenal ilmul gharib dalam Kitab dan Sunnah. Dan dari segi nahwu ada yang berkaitan dengan Kitab dan Sunnah, sementara mendalami secara ekstrem sampai pada frekuensi tak terbatas adalah sikap berlebihan yang tidak perlu dilakukan. Pakar dalam hal ini sebenarnya terkena tipudaya.

Sumber :hilmanmuchsin.com/2009/05/tipu-daya-yang-menimpa-ulama.html

RumAh TaNGgA BaHAgiA

 Rumah Tangga Harmonis

Harmonis adalah perpaduan dari berbagai warna karakter yang membentuk kekuatan eksistensi sebuah benda. Perpaduan inilah yang membuat warna apa pun bisa cocok menjadi rangkaian yang indah dan serasi.

Warna hitam, misalnya, kalau berdiri sendiri akan menimbulkan kesan suram dan dingin. Jarang orang menyukai warna hitam secara berdiri sendiri. Tapi, jika berpadu dengan warna putih, akan memberikan corak tersendiri yang bisa menghilangkan kesan suram dan dingin tadi. Perpaduan hitam-putih jika ditata secara apik, akan menimbulkan kesan dinamis, gairah, dan hangat.

Seperti itulah seharusnya rumah tangga dikelola. Rumah tangga merupakan perpaduan antara berbagai warna karakter. Ada karakter pria, wanita, anak-anak, bahkan mertua. Dan tak ada satu pun manusia di dunia ini yang bisa menjamin bahwa semua karakter itu serba sempurna. Pasti ada kelebihan dan kekurangan.

Nah, di situlah letak keharmonisan. Tidak akan terbentuk irama yang indah tanpa adanya keharmonisan antara nada rendah dan tinggi. Tinggi rendah nada ternyata mampu melahirkan berjuta-juta lagu yang indah.

Dalam rumah tangga, segala kekurangan dan kelebihan saling berpadu. Kadang pihak suami yang bernada rendah, kadang isteri bernada tinggi. Di sinilah suami-isteri dituntut untuk menciptakan keharmonisan dengan mengisi kekosongan-kekosongan yang ada di antar mereka.

Ada empat hal yang mesti diperhatikan untuk menciptakan keharmonisan rumah tangga, Antara lain:
1. Jangan melihat ke belakang

Jangan pernah mengungkit-ungkit alasan saat awal menikah. “Kenapa saya waktu itu mau nerima aja, ya? Kenapa nggak saya tolak?” Buang jauh-jauh lintasan pikiran ini.

Langkah itu sama sekali tidak akan menghasilkan perubahan. Justru, akan menyeret ketidakharmonisan yang bermula dari masalah sepele menjadi pelik dan kusut. Jika rasa penyesalan berlarut, tidak tertutup kemungkinan ketidakharmonisan berujung pada perceraian.

Karena itu, hadapilah kenyataan yang saat ini kita hadapi. Inilah masalah kita. Jangan lari dari masalah dengan melongkok ke belakang. Atau, na’udzubillah, membayangkan sosok lain di luar pasangan kita. Hal ini akan membuka pintu setan sehingga kian meracuni pikiran kita.

2. Berpikir objektif

Kadang, konflik bisa menyeret hal lain yang sebetulnya tidak terlibat. Ini terjadi karena konflik disikapi dengan emosional. Apalagi sudah melibatkan pihak ketiga yang mengetahui masalah internal rumah tangga tidak secara utuh.

Jadi, cobalah lokalisir masalah pada pagarnya. Lebih bagus lagi jika dalam memetakan masalah ini dilakukan dengan kerjasama dua belah pihak yang bersengketa. Tentu akan ada inti masalah yang perlu dibenahi.

Misalnya, masalah kurang penghasilan dari pihak suami. Jangan disikapi emosional sehingga menyeret masalah lain. Misalnya, suami yang tidak becus mencari duit atau suami dituduh sebagai pemalas. Kalau ini terjadi, reaksi balik pun terjadi. Suami akan berteriak bahwa si isteri bawel, materialistis, dan kurang pengertian.

Padahal kalau mau objektif, masalah kurang penghasilan bisa disiasati dengan kerjasama semua pihak dalam rumah tangga. Tidak tertutup kemungkinan, isteri pun ikut mencari penghasilan, bahkan bisa sekaligus melatih kemandirian anak-anak.

3. Lihat kelebihan pasangan, jangan sebaliknya

Untuk menumbuhkan rasa optimistis, lihatlah kelebihan pasangan kita. Jangan sebaliknya, mengungkit-ungkit kekurangan yang dimiliki. Imajinasi dari sebuah benda, bergantung pada bagaimana kita meletakkan sudut pandangnya.

Mungkin secara materi dan fisik, pasangan kita mempunyai banyak kekurangan. Rasanya sulit sekali mencari kelebihannya. Tapi, di sinilah uniknya berumah tangga. Bagaimana mungkin sebuah pasangan suami isteri yang tidak saling cinta bisa punya anak lebih dari satu.

Berarti, ada satu atau dua kelebihan yang kita sembunyikan dari pasangan kita. Paling tidak, niat ikhlas dia dalam mendampingi kita karena Allah sudah merupakan kelebihan yang tiada tara. Luar biasa nilainya di sisi Allah. Nah, dari situlah kita memandang. Sambil jalan, segala kekurangan pasangan kita itu dilengkapi dengan kelebihan yang kita miliki. Bukan malah menjatuhkan atau melemahkan semangat untuk berubah.

4. Sertakan sakralitas berumah tangga

Salah satu pijakan yang paling utama seorang rela berumah tangga adalah karena adanya ketaatan pada syariat Allah. Padahal, kalau menurut hitung-hitungan materi, berumah tangga itu melelahkan. Justru di situlah nilai pahala yang Allah janjikan.

Ketika masalah nyaris tidak menemui ujung pangkalnya, kembalikanlah itu kepada sang pemilik masalah, Allah swt. Pasangkan rasa baik sangka kepada Allah swt. Tataplah hikmah di balik masalah. Insya Allah, ada kebaikan dari semua masalah yang kita hadapi.

Lakukanlah pendekatan ubudiyah. Jangan bosan dengan doa. Bisa jadi, dengan taqarrub pada Allah, masalah yang berat bisa terlihat ringan. Dan secara otomatis, solusi akan terlihat di depan mata. Insya Allah!

Oleh: Mochamad Bugi

EtOs KErjA DaLAm IsLAm

Etos Kerja Dalam Islam

“Dialah Yang menjadikan bumi ini mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. al-Mulk:15)

Islam menghendaki setiap individu hidup di tengah masyarakat secara layak sebagai manusia, paling kurang ia dapat memenuhi kebutuhan pokok berupa sandang dan pangan, memperoleh pekerjaan sesuai dengan keahliannya, atau membina rumah tangga dengan bekal yang cukup. Artinya, bagi setiap orang harus tersedia tingkat kehidupan yang sesuai dengan kondisinya, sehingga ia mampu melaksanakan berbagai kewajiban yang dibebankan Allah serta berbagai tugas lainnya. Untuk mewujudkan hal itu, Islam mengajarkan, setiap orang dituntut untuk bekerja atau berusaha, menyebar di muka bumi, dan memanfaatkan rezeki pemberian Allah SWT.

Kata “bekerja” dalam ayat di atas mengandung arti sebagai suatu usaha yang dilakukan seseorang, baik sendiri atau bersama orang lain, untuk memproduksi suatu komoditi atau memberikan jasa. Kerja atau berusaha merupakan senjata utama untuk memerangi kemiskinan dan juga merupakan faktor utama untuk memperoleh penghasilan dan unsur penting untuk memakmurkan bumi dengan manusia sebagai kalifah seizin Allah.

Ajaran Islam, menyingkirkan semua faktor penghalang yang menghambat seseorang untuk bekerja dan berusaha di muka bumi. Banyak ajaran Islam yang secara idealis memotivasi seseorang, seringkali menjadi kontra produktif dalam pengamalannya. Ajaran “tawakkal” yang seringkali diartikan sebagai sikap pasrah tidaklah berarti meninggalkan kerja dan usaha yang merupakan sarana untuk memperoleh rezeki. Nabi Muhammad SAW, dalam sejumlah hadits, sangat menghargai “kerja”, seperti salah satu haditsnya yang berbunyi, “Jika kalian tawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, Allah akan memberi kalian rezeki seperti Dia memberi rezeki kepada burung yang terbang tinggi dari sarangnya pada pagi hari dengan perut kosong dan pulang di sore hari dengan perut kenyang.”

Hadits di atas sebenarnya menganjurkan orang untuk bekerja, bahkan harus meninggalkan tempat tinggal pada pagi hari untuk mencari nafkah, bukan sebaliknya pasrah berdiam diri di tempat tinggal menunggu tersedianya kebutuhan hidup. Hal ini dicontohkan oleh para sahabat Rasulullah SAW yang berdagang lewat jalan darat dan laut dengan gigih dan ulet. Mereka bekerja dan berusaha sesuai dengan kemampuan dan keahliannya masing-masing.

Dalam beberapa ayat di Al Qur’an, Allah telah menjamin rezeki dalam kehidupan seseorang, namun tidak akan diperoleh kecuali dengan bekerja atau berusaha, antara lain pada Surah Al-Jumu’ah ayat 10, dinyatakan; “Apabila telah ditunaikan Shalat, maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”

Hal ini menunjukkan bahwa Islam menghendaki adanya etos kerja yang tinggi bagi umatnya dalam memenuhi keinginannya, bukan semata-mata hanya dengan berdoa. Bahkan untuk memotivasi kegiatan perdagangan (bisnis), Rasulullah SAW bersabda: “Pedagang yang lurus dan jujur kelak akan tinggal bersama para nabi, siddiqin, dan syuhada.” (HR Tirmidzi). Dan pada hadits yang lain Rasulullah SAW menyatakan bahwa: “Makanan yang paling baik dimakan oleh seseorang adalah hasil usaha tangannya sendiri.” (H.R. Bukhari)

Islam juga mengajarkan bahwa apabila peluang kerja atau berusaha di tempat tinggal asal (kampung halaman) tertutup, maka orang-orang yang mengalami hal tersebut dianjurkan merantau (hijrah) untuk memperbaiki kondisi kehidupannya karena bumi Allah luas dan rezeki-Nya tidak terbatas di suatu tempat, sebagaimana Firman Allah SWT: “Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak…...” (QS. an-Nisa’:100)

Ajaran Islam, sangat memotivasi seseorang untuk bekerja atau berusaha, dan menentang keras untuk meminta-minta (mengemis) kepada orang lain. Islam tidak membolehkan kaum penganggur dan pemalas menerima shadaqah, tetapi orang tersebut harus didorong agar mau bekerja dan mencari rezeki yang halal sebagaimana hadits Rasulullah SAW yang berbunyi, “Bila seseorang meminta-minta harta kepada orang lain untuk mengumpulkannya, sesungguhnya dia mengemis bara api. Sebaiknya ia mengumpulkan harta sendiri.” (H.R. Muslim). Oleh karena itu, Islam, memberikan peringatan keras kepada yang meminta-minta (mengemis), sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Qayyim, bahwa mengemis kepada orang lain adalah tindakan zalim terhadap Rabbul’alamin, hak tempat meminta, dan hak pengemis itu sendiri.

Tindakan zalim terhadap hak Rabbul’alamin artinya meminta, berharap, menghinakan diri, dan tunduk kepada selain Allah. Ia meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya, mempersembahkan sesuatu bukan kepada yang berhak, dan berlaku zalim terhadap tauhid dan keikhlasan. Berlaku zalim terhadap tempat meminta artinya menzalimi orang yang diminta sebab dengan mengajukan permintaan, ia menghadapkan orang yang diminta kepada pilihan sulit antara memuhi permintaannya atau menolaknya. Jika orang itu terpaksa memnuhi permintaanya, ada kemungkinan disertai dengan rasa dongkol. Namun bila tidak memberi, orang itu akan merasa malu. Sedangkan berlaku zalim terhadap diri sendiri artinya seorang pengemis menghina diri sendiri, menghamba bukan kepada Sang Pencipta, merendahkan martabat diri, dan rela menundukkan kepala kepada sesama makhluk. Ia menjual kesabaran, ketawakkalan, dan melalaikan tindakan mencegah diri dari mengemis kepada orang lain.

Islam menuntun setiap orang untuk mendayagunakan semua potensi dan mengarahkan segala dayanya, betapa pun kecilnya. Islam melarang seseorang mengemis sedangkan ia mempunyai sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk membuka peluang kerja yang akan mencukupi kebutuhannya.

Islam mengajarkan, bahwa semua usaha yang dapat mendatangkan rezeki yang halal adalah sesuatu yang mulia, walaupun rezeki itu diperoleh dengan susah payah daripada mengemis dan meminta-minta kepada orang lain. Islam membimbing seseorang agar melakukan pekerjaan sesuai dengan kepribadian, kemampuan, dan kondisi lingkungannya, serta tidak membiarkan si lemah terombang-ambing tanpa pegangan.

Masyarakat Islam, baik penguasa maupun rakyat, diminta untuk mengerahkan segenap potensinya untuk menghilangkan kemiskinan. Mereka harus memanfaatkan semua kekayaan, sumber daya manusia maupun sumber daya alam sehingga akan meningkatkan produksi serta berkembangnya berbagai sumber kekayaan secara umum yang akan berdampak dalam pengentasan umat dari kemiskinan.

Umat Islam diminta bergandengtangan menghilangkan semua cacat yang dapat merusak bangunan masyarakatnya. Masyarakat Islam dituntut menciptakan lapangan kerja dan membuka pintu untuk berusaha (berbisnis). Di samping itu, juga harus menyiapkan tenaga-tenaga ahli yang akan menangani pekerjaan tersebut. Hal ini merupakan kewajiban kolektif umat Islam. Namun, realitas yang ada di masyarakat Islam saat ini sangat jauh dari idealisme yang diajarkan Islam dalam memotivasi seseorang untuk menjadi berhasil dalam kehidupannya.

Faktor utama untuk kembali kepada ajaran motivasi Islam yang berorientasi kepada falah oriented, yakni menuju kemakmuran di dunia dan kebahagiaan di akhirat, adalah membangkitkan kembali semangat ukhuwah islamiyah di antara kita. Hal ini merupakan tugas kita semua secara bersama-sama sebagai umat Muslim yang peduli terhadap keluarga kita umat Islam di seluruh jagad raya agar tidak tertinggal dan dapat “duduk sama rendah berdiri sama tinggi” dengan umat lainnya di muka bumi ini. Dan, terakhir, perlu kita sadari, bahwa Allah SWT tidak akan mengubah nasib kita tanpa kita sendiri mengubah nasib kita, dan oleh karena itu kita harus menjaga dan meningkatkan etos kerja kita agar kita tidak tertinggal oleh yang lain, sebagaimana firman Allah SWT:
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehinga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri………” (QS.13/ ar-Ra’d: 11)

http://baitul-maal.com/artikel/etos-kerja-islam.html

SeoRanG IsLAm

Sebagai seorang Islam

• Sebagai seorang Islam dituntut untuk :
- Berpakaian secara Islam
- Berperilaku secara Islam
- Makan secara Islam
- Bergaul secara Islam



• Orang yang paling dicintai Allah SWT ialah orang yang paling
besar manfaatnya untuk sesamanya

• Beribadah dengan benar
Berakhlak baik
Belajar tiada henti
Bekerja keras
Bersahaja dalam hidup
Bantu sesama
Bersihkan hati selalu

• Taatlah kepada Allah bukan kepada hawa nafsu

• Sebagai seorang muslim sebaiknya kita :
-Jangan kotor hati
-Senang orang lain sukses
-Belajar melupakan jasa, termasuk dari anak sendiri
-Berani melihat kekurangan diri

• Kita sibuk dengan urusan dunia yang akan kita tinggalkan, tetapi kita lalai kepada yang pasti kita ketemui yaitu Allah SWT, dimana kita akan mempertanggung jawabkan semua perbuatan kita selama berada didunia

• Kita seharusnya sabar :
-Dalam taat kepada Allah
-Dalam menerima musibah
-Dalam mendapat nikmat dari Allah

• Hidup ini harus hati-hati, jangan keluar dari koridor Islam

• Semua dari Allah, milik Allah dan kembali kepada Allah

• Tanamkan dalam benak anda masa lalu adalah masa lalu. Masa kini adalah masa kini dan masa depan bergantung pada tindakan anda masa kini

• Jangan tunggu kesempatan, tetapi ciptakan kesempatan itu

• Masa yang sulit tidak pernah berakhir, tetapi orang-orang yang ulet akan berhasil mengatasinya

• Hidup ini terlalu singkat untuk bersikap kerdil

• Kebahagiaan dan sukses kita ditentukan oleh orang-orang lain terhadap kita. Sikap orang-orang lain terhadap kita tergantung kepada tingkah laku kita

• Kemenangan hanya ada pada orang-orang yang mau dan ingin menang

• Manusia lebih tertarik kepada sesuatu yang dapat menyenangkan hatinya dari pada yang berguna baginya

• Hidup kita adalah yang diciptakan oleh alam fikiran kita

• Manusia hanya bisa kuat dengan mengalahkan kesukaran-kesukaran

• Percobaan-percobaan ilmiah membuktikan bahwa kepribadian adalah faktor yang jauh lebih penting dalam kehidupan dari pada pengetahuan

• Penjunjung utama kesuksesan adalah sikap saling menghargai atau saling menghormati antara setiap individu. Asas dari saling menghargai atau saling menghormati adalah ketulusan hati dan kejujuran

• Kecantikan muka tidak dapat dijadikan tanda bagi kecantikan budi, karena besi dan baja itu sama kilat luarnya

• Masalah-masalah dalam kehidupan ini tidak akan habis-habisnya, maka tergantung pada diri kita masing-masing bagaimana cara menyikapinya

• Hidup ini hanya sekali, maka berbuatlah atau berikanlah apa yang terbaik


• Waktu hanya satu dan fikiran hanya satu, jadi manfaatkanlah untuk hal-hal yang sebaik-baiknya

• Kita harus selalu siap dalam menghadapi yang cocok dan yang tidak cocok

• Bahwasanya sombong itu bodoh

• Ia pandai menahan seleranya, asal selamat hari kemudiannya. Kalau terbentur dengan suatu masalah ia tidak mengeluh dan nekat. Kalau belum tercapai maksudnya ia bersabar

• Jika kamu berbuat kebaikan, berarti kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat kejahatan, maka akibatnya bagi dirimu sendiri

• Hidup ini adalah laksana suatu cerita, bukan panjangnya tetapi isinya yang utama

• Jangan pandang siapa yang berkata, tetapi pandanglah apa yang dikatakannya

• Pembelenggu manusia :
-Pengaruh perasangka negative
-Pengaruh pengalaman
-Pengaruh kepentingan dan prioritas
-Pengaruh sudut pandang
-Pengaruh pembanding
-Pengaruh literatur

• Sesulit apapun, jalani saja

• Berhati-hatilah dalam soal berjanji, karena ia adalah sebagai ukuran sampai dimana keluhuran budimu

• Menunda menyelesaikan masalah akan membuat masalah baru

• BERKATA BAIK ATAU DIAM !!!
Kebanyakan bencana itu asalnya dari mulut


Sumber: alharamain2010@yahoo.com

Rabu, 09 Mei 2012

MENJAGA LISAN

MENJAGA LISAN 

Berbicara itu sangat mudah yang berat adalah mempertanggung jawabkan setiap perkataan, akhlak seseorang bisa tampak dari kata-katanya.

Bila diumpamakan seperti sebuah teko, maka moncong teko akan mengeluarkan apa yang ada di dalamnya, bila isinya susu maka susu lah yang keluar dan bila isinya air comberan maka air comberanlah yang keluar.

Rosululloh Shalallohu ‘alaihi wasallam bersabda “Barangsiapa yang menjamin untukku apa yang berada di antara dua rahang dan apa yg ada di antara dua kaki maka aku akan menjamin baginya surga .”(HR At-Tirmidzi no. 2411)

Semakin banyak bicara semakin besar peluang dosa dan celaka, maka lebih baik seperti apa yang di sampaikan Rosululloh Shalallohu ‘alaihi wasallam.“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berbicara yang baik atau diam” (HR. Bukhari).

Berbicara itu sesungguhnya tidak mudah bagi yang berhati bersih, Bila bicara yakin akan membawa kebaikan maka bicara lebih baik dari pada diam, bila ragu maka diam itu lebih baik.
Lidah adalah penterjemah dari obyek hati

Lidah adalah pemandu bagi akal dan pikiran seseorang
Lidah juga adalah penanaman akhlak pada seseorang.

Dua orang yang berteman penuh keakraban bisa dipisahkan dengan lisan.
Seorang bapak dan anak yang saling menyayangi dan menghormati pun bisa dipisahkan karena lisan.
Suami istri yang saling mencintai dan saling menyayangi bisa dipisahkan dengan cepat karena lisan.
Bahkan darah seorang muslim dan mukmin yang suci serta bertauhid dapat tertumpah karena lisan.

Ingat kita tak akan celaka oleh perkataan siapapun selain lisan kita sendiri ...