Tipu Daya yang Menimpa Ulama
Salah satu golongan dari mereka, adalah kalangan yang
terlalu mendalami ilmu-ilmu syari’at dan ilmu-ilmu rasionaI. Mereka sibuk
dengan disiplin tersebut, namun mengabaikan penjagaan dirinya dari tindakan
maksiat dan mengabaikan ketaatan. Mereka terpedaya oleh ilmunya sendiri.
Anehnya, mereka menyangka memiliki posisi di hadapan Allah swt. Bahkan mereka
berasumsi bahwa Allah tidak akan menyiksanya, karena ilmunya telah mencapai
suatu tahap tertentu. Mereka merasa bisa memberi syafaat terhadap orang lain,
dan mereka tidak terkena tuntutan dosa dan kesalahannya.
Mereka sebenarnya tertipu. Kalau saja mereka mau melihat
dengan mata hati, pasti mereka akan menemukan titik pandang bahwa ilmu itu
terbagi menjadi dua: Ilmu Muamalat dan Ilmu Mukasyafah, yaitu pengetahuan
terhadap Allah swt. dan Sifat-sifat-Nya. Sementara Ilmu Muamalat berfungsi
sebagai komplementer hikmah yang dituju, yaitu pengetahuan tentang halal dan
haram, pengetahuan etika jiwa yang tercela dan terpuji.
Mereka itu seperti seorang dokter yang mampu mengobati orang
lain, sedangkan ia sendiri ketika sakit sebenarnya mampu mengobati dirinya
sendiri, tetapi hal itu tidak dilakukan. Lalu apa gunanya pengobatan tersebut?
Sungguh jauh dari harapan, di mana terapi tidak akan bermanfaat kecuali orang
yang mau meminum obat tersebut setelah merasakan demam. Mereka melupakan firman
Allah swt.:
"Sungguh benar-benar berbahagia orang yang menyucikan
jiwa dan benar-benar merugi orang yang mengotorinya". (Q.S. asy-Sayms:
9-10).
Allah tidak berfirman, "Barangsiapa yang mengetahui
penyucian jiwa dan menulis ilmunya, serta mengajarkannya kepada manusia".
Mereka pun alpa terhadap sabda Nabi saw.:
"Barangsiapa bertambah ilmunya dan tidak tambah
hidayahnya, maka tidak akan bertambah dari Allah kecuali jauh dari-Nya".
"Sesungguhnya orang yang paling tersiksa di hari Kiamat
adalah seorang ilmuwan yang tidak diberi oleh Allah kemanfaatan atas
ilmunya".
Dan hadis-hadis lainnya yang sepadan. Mereka itu adalah para
Ulama yang tertimpa tipudayanya sendiri, dan semoga Allah menjaga kita dari
tingkah laku mereka. Mereka sebenarnya terhimpit oleh kecintaan duniawi,
egoisme dan mencari kemudahan dunia saja, sembari berangan-angan bahwa ilmunya
mampu menyelamatkan dirinya di akhirat tanpa harus beramal.
Kelompok Pertama:
Sedangkan kelompok Ulama lainnya menekuni ilmunya dan
amal-amal lahiriah, meninggalkan maksiat-maksiat lahiriah, namun alpa dengan
kondisi ruhani jiwanya. Mereka tidak mau menghapus sifat-sifat tercelanya di
hadapan Allah swt. seperti: sombong, riya’, dengki, ambisi posisi dan status,
berhasrat buruk kepada sesama teman, mencari popularitas di tengah-tengah
negeri dan penduduknya. Semua itu merupakan tipudaya, yang disebabkan oleh
kealpaannya terhadap hadis Nabi saw.:
"Riya’ adalah syirik kecil".
"Dengki itu memakan kebaikan seperti api menghanguskan
kayu kering".
"Cinta harta dan kemuliaan bisa menimbulkan kemunafikan
dalam hati, seperti air menumbuhkan sayur mayur".
Dan hadis-hadis lainnya. Mereka pun melupakan firman Allah
swt.:
"Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati
yang bersih". (Q.S. asy-Syu’ara’: 89).
Mereka alpa hatinya dan cukup dengan kesibukan amal lahiriah
belaka. Padahal yang hatinya tidak patuh, tidak akan sah taatnya. Ia ibarat
orang berpenyakit kudis, lantas dokter memerintahkan untuk mengoleskan dan
meminum obat, tetapi ia hanya sibuk mengoleskan kulit luar saja, tanpa meminum
obat. Akhirnya, penyakit luar hilang tetapi penyakit dalamnya masih bercokol.
Padahal akar penyakit itu justru dari dalam, karenanya semakin bertambahlah
penyakit dalamnya. Seandainya sumber penyakit dari dalam hilang, pasti yang di
luar semakin ringan. Begitu pula kotoran-kotoran manakala bertengger dalam
hati, akan tampak pengaruhnya pada fisik.
Kelompok Kedua:
Sekelompok Ulama lain mengenal etika batin dan mengetahui
bahwa pelanggaran tersebut dicaci oleh syari’at. Hanya saja, karena mereka
terlalu berbangga dan kagum pada diri sendiri, mereka menduga dirinya lepas
dari cacian tersebut. Di sisi Allah, menurut mereka, telah bebas dari cobaan
seperti itu. Mereka yang dicaci adalah kalangan awam, bukan pada pihak yang
telah sampat pada taraf ilmu pengetahuan.
Sementara mereka kalangan Ulama merasa bebas dari sanksi tersebut,
sehingga mereka terjerumus dalam khayalan kebesaran dan jenjang tahta, ambisi
keluhuran dan kehormatan, dan mereka tertipu oleh dugaan mereka sendiri, bahwa
cara yang mereka tempuh itu bukan sebagai tindak kesombongan. Mereka beralasan
apa yang dilakukan, sebagai upaya memuliakan agama, menampakkan kemuliaan
pengetahuan dan membantu agama Allah. Mereka Iupa pesta iblis karena tindakan
mereka itu, mereka juga alpa bagaimana sebenarnya kontribusi Nabi saw. dan
bagaimana kehinaan orang-orang kafir. Mereka juga lupa, bagaimana para sahabat
bertawadhu’, merasa rendah hati, miskin dan tempat tinggal apa adanya. Sehingga
Umar bin Khaththab r.a. pernah dikritik karena pakaiannya yang lusuh setibanya
di Syam. Lalu Umar berkata, "Kami adalah kaum dimana Allah meninggikan
kami dengan Islam. Kami tidak mencari kemuliaan selain Islam."
Kemudian tipudaya lain, memakai pakaian kebesaran untuk
meraih kemuliaan agama, dan ia menduga bahwa dirinya memuliakan ilmu dan
menghormati agama dengan tindakannya. Ketika mereka membahas rasa dengki
teman-temannya atau mereka yang kontra terhadap ucapannya, ia tidak menduga
bahwa tindakannya itu pun merupakan kedengkian pula.
Lantas ia berkelit, "Ini merupakan kemarahan demi
kebenaran, mengkounter orang batil yang dilakukan melalui permusuhan dan
kezalimannya." Tentu tindakannya merupakan tipudaya. Sebab manakala ia
menusuk sesama temannya melalui kritiknya, kadang-kadang ia melontarkan bukan
dengan amarah, tetapi dengan rasa gembira karena mampu mengkounter temannya.
Kalau di hadapan manusia ia tampak marah, padahal hatinya gembira.
Terkadang lontarannya sebagai pamer pengetahuan, sembari
berucap, "Tujuan saya, sebenarnya memberi kontribusi faedah kepada
manusia," padahal ucapannya itu didasari riya’. Sebab bila tujuannya untuk
membuat kebajikan kepada manusia, tentu ia pasti lebih senang bila tindakannya
itu dilakukan oleh orang lain yang sepadan atau di atasnya, bahkan orang yang
ada di bawahnya.
Kadang-kadang ketika memasuki rumah para penguasa, ia
memuji-muji dan menampakkan kecintaannya. Ketika ditanya soal tindakannya itu,
ia menjawab, "Tujuan saya adalah untuk kemanfaatan bersama ummat Islam,
dan menolak bahaya dari penguasa itu." Padahal ia terkena tipudayanya
sendiri. Tentunya, bila memang demikian tujuannya, pasti ia akan senang bila
yang melakukan itu orang lain. Seandainya ada seseorang yang berkenan dan
sukses perannya di hadapan penguasa, ia justru emosi pada tindakan orang lain
itu.
Ketika ia bisa meraih harta dari penguasa, lantas muncul di
benaknya bahwa harta itu haram, tiba-tiba syetan berbisik, "Ini harta
tanpa pemilik, bisa dipakai untuk kemaslahatan ummat Islam. Andakan pemuka
ummat dan pakar mereka. Karena Andalah agama ini bisa tegak."
Di sini ada tiga tipudaya:
Pertama, bahwa ada harta yang tidak ada pemiliknya.
Kedua, demi kemaslahatan ummat Islam.
Ketiga, ia adalah pemuka ummat. Lantas apakah ada seorang
pemuka (Imam) kecuali orang yang menolak duniawi seperti para Nabi, para
sahabat dan Ulama-ulama ummat yang utama? Dan sepadan mereka, sebagaimana Isa
as. berkata, "Seorang alim yang buruk ibarat batu di pinggir jurang, tidak
mencerap air tidak pula memancarkan air" yang dialirkan ke
pertanian."
Kalangan pakar ilmu pengetahuan ataupun Ulama, banyak yang
terpedaya, dan tindakan destruktifnya lebih banyak dibanding reformasi
kebajikannya.
Kelompok Ketiga:
Mereka mampu mendefinisikan ilmu-ilmu pengetahuan dan
menyucikan fisiknya, menampakkan ketaatan-ketaatannya, menjauhi
kemaksiatan-kemaksiatan secara lahiriah, sementara mereka mengabaikan akhlak
jiwa dari sifat-sifat qalbu, sehingga tetap memelihara riya’, dengki, takabur,
dendam dan ambisi meraih posisi.
Mereka sedang berupaya memerangi diri mereka untuk bebas
dari sifat-sifat tersebut, mereka ingin mencabut akar yang tumbuh dalam
hatinya, tetapi mereka terpedaya.
Sebab dalam pelataran kalbunya ada sejumlah sisa-sisa
tersembunyi, berupa rekayasa syetan dan cacat pengkhianatan nafsu yang semakin
dalam dan curam. Mereka tidak mengerti bahkan kemudian mengabaikannya sama
sekali. Padahal mereka ibarat orang yang ingin membersihkan tanaman dari
rumput, ia mengelilingi tanaman itu dan meneliti setiap jengkal tanaman dan
rumput yang ada. Tetapi ia tidak mencabut akar-akar rumput yang ada di dalam
tanah, dengan menduga bahwa semuanya sudah selesai. Ketika alpa akan akar-akar
rumput dalam tanah itu, rumput tumbuh kembali dan merusak tanaman.
Mereka itu seandainya mau berubah pasti akan berubah.
Kadang-kadang mereka tidak mau bergaul dengan sesama, sebagai ekspresi
kesombongannya, bahkan memandang mereka dengan sebelah mata. Terkadang mereka
melakukan kritik terhadap ijtihad orang lain agar ia tidak dipandang sebelah
mata saja.
Kelompok Keempat:
Para Ulama yang meninggalkan pentingnya ilmu pengetahuan.
Mereka hanya membatasi ilmu fatwa saja dalam bidang hukum dan peradilan. Mereka
lebih banyak menekuni bidang kerja duniawi yang berjalan untuk kebaikan
kehidupan. Lantas mereka menekuni bidang ilmu yang disebut dengan fiqih. Mereka
sebut disiplin itu dengan fiqih atau ilmu mazhab, sementara bersamaan dengan
penekunannya tersebut mereka mengabaikan amal-amal yang lahiriah maupun
batiniah. Mereka tidak menjaga fisik, tidak mengendalikan ucapan dari pergunjingan,
mencegah perut dari barang haram, dan tidak mencegah untuk melangkah ke
rumah-rumah penguasa. Jika demikian seluruh fisiknya, mereka pun tidak bisa
mengatur hatinya dari sikap takabur, riya’, dengki dan seluruh sifat-sifat
destruktif.
Mereka ini terpedaya oleh dua hal:
Pertama: Dari segi ilmu pengetahuan. Kami telah membangun
terapinya dalam kitab Al-Ihya’. Bahwa mereka itu seperti orang sakit yang
mengetahui obatnya dari para cendekiawan, namun tidak mau tahu dan tidak mau
menggunakannya. Mereka itu sebenarnya disanjung oleh kehancuran, dari segi
bahwa mereka meninggalkan penyucian dan konsentrasi hati. Mereka lebih sibuk
dengan bab haid, denda, li’an, dzihar, sementara mereka mengabaikan konstruksi
di dalam jiwanya. Mereka terpedaya oleh pengagungan orang-orang yang
mengelilinginya, karena ia sebagai seorang hakim atau mufti yang menjadi
rujukan. Bila mereka berpisah maka mereka saling menusukkan kejelekan
masing-masing, namun ketika mereka bertemu, lontaran-lontaran mereka tidak
muncul lagi.
Kedua: Juga dari segi ilmu pengetahuan. Bahwa mereka
berasumsi, ilmu pengetahuan itu hanya ada pada bidangnya, dengan menduga
ilmunya dapat menyelamatkannya. Padahal sarana yang bisa menyelamatkan adalah
kecintaannya terhadap Allah swt. Cinta kepada Allah swt. tidak bisa diraih
kecuali dengan ma’rifatullah. Ma’rifat ini ada tiga: Ma’rifat Dzat, Ma’rifat
Sifat dan Ma’rifat Af’aal. Mereka ibarat orang yang menjual bekal di tengah
jalan orang yang sangat membutuhkannya, sementara mereka tidak tahu bahwa fiqih
(pemahaman) itu datang dari Allah, mengenal Sifat-Nya yang bersifat menakuti
dan mencegah, agar hati senantiasa merasakan ketakutan, menekuni takwa,
sebagaimana firman-Nya:
"Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara
mereka beberapa golongan untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan
untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya,
supaya mereka itu dapat menjaga dirinya". (Q.S. at-Taubah: 122).
Di antara mereka ada yang membatasi bidang pengetahuan agama
tersebut pada bidang fiqih belaka dengan menekuni dimensi polemik antar ulama
(khilafiyah). Mereka tidak mencurahkan perhatian kecuali melalui metode
perdebatan, disiplin dan menampakkan polemik, mempertahankan kebenaran semata
bertujuan untuk bangga diri dan menang-menangan. Sepanjang siang dan malam
mereka berdiskusi dalam soal pertentangan antarmazhab, mencaci kekurangan lawan
atau terman.
Mereka sebenarnya tidak bertujuan mencari ilmu, tetapi untuk
suatu gengsi di hadapan orang lain. Seandainya mereka sibuk dengan penjernihan
hatinya, pasti tindakannya lebih baik dibanding pengetahuan yang tak bermanfaat
kecuali sekadar manfaat dunia dan kesombongan. Padahal gengsi tersebut akan
berubah menjadi neraka yang menjilat di akhirat nanti.
Padahal dalil-dalil mazhab tidak lebih dari Kitabullah dan
Sunnah Rasulullah saw. Betapa buruknya tipudaya yang mereka geluti!
Kelompok Kelima:
Mereka sibuk dengan ilmu Kalam dan polemik, dan sibuk
mengkounter lawan-lawannya yang kontra. Mereka memperbanyak wacana logika yang
berbeda-beda, dan menekuni doktrin metodologi dalam melawan kelompok lain yang
berbeda. Mereka ini ada dua kalangan:
Pertama, kalangan yang sesat dan menyesatkan, mereka
terpedaya oleh kealpaannya melalui kesesatan yang dipeluk dengan dugaan kuat
bahwa kesesatan itu bisa menyelamatkannya. Kelompok ini terpecah-pecah dan
saling mengkafirkan satu sama lainnya. Mereka tersesat karena memvonis suatu
pandangan tanpa mengetahui bukti dalil. dan metodologinya. Mereka menganggap
dalil syubhat pun bisa dibuat pegangan dan akhirnya buktinya pun syubhat.
kedua, adalah kalangan yang meneliti secara detail, mereka
berpandangan bahwa polemik merupakan persoalan prioritas dan menempati posisi
utama dalam agama Allah. Mereka berasumsi bahwa tak seorang pun bisa sempurna agamanya
sepanjang belum mengkaji detail. Siapa yang membenarkan Allah tanpa membuat
penelitian dan kajian terhadap suatu premis, dia tidak dikategorikan sebagai
Mukmin yang sempurna dan tidak bisa dianggap dekat dengan Allah swt. Mereka
sarma sekali tidak menoleh pada generasi pertama, bahwa Nabi saw. yang
disaksikan oleh mereka sebagai makhluk paling utama sama sekali tidak menuntut
suatu dalil untuk keimanan seseorang. Abu Umamah al-Bahily r.a. pernah
meriwayatkan dari Nabi saw. yang bersada:
"Suatu kaum tidak akan pernah sesat sama sekali kecuali
jika perdebatan didatangkan kepada mereka".
Kelompok Keenam:
Mereka sibuk dengan nasihat, mengangkat derajat orang-orang
yang membahas seputar akhlak jiwa dan sifat-sifat hati, berupa khauf, raja,
sabar; syukur; tawakkal, zuhud, yaqin, ikhlas dan kejujuran. Mereka sebenarnya
terkena tipudaya karena dugaannya jika berbicara tentang predikat-predikat
tersebut dan berdakwah dengan mengajak manusia untuk mendisiplinkan dengan
predikat itu, seakan-akan mereka telah memiliki predikat yang sama. Padahal
mereka terlepas dari predikat tersebut kecuali sedikit orang saja, di mana
kalangan awam tidak mengetahuinya.
Mereka sebenarnya terbelenggu tipudaya yang dahsyat. Sebab
mereka kagum dengan dirinya sendiri.
Mereka menduga, bahwa mereka tidak menyelami ilmu cinta
kepada Allah kecuali mereka pasti selamat saat itu.
Mereka pun merasa aman dan terampuni dosanya karena mereka
hafal akan ucapan kalangan ahli zuhud, sementara amalnya sepi.
Mereka sebenarnya lebih dahsyat tipudayanya dibanding Ulama
sebelumnya. Hal itu disebabkan:
· Mereka menyangka mencintai Allah dan Rasul-Nya, sementara
mereka tidak mampu menyelami hakikat ikhlas kecuali mereka benar-benar ikhlas.
· Mereka tidak pernah berpijak pada cacat jiwa yang
tersembunyi kecuali mereka merasa suci. Begitu pula seluruh sifat-sifatnya.
· Mereka mencintai dunia namun dengan menampakkan zuhud
duniawi, padahal sangat ambisius dengan dunia dan kecintaannya yang kuat.
· Mereka menganjurkan ikhlas sementara mereka tak pernah
berlaku ikhlas.
· Mereka menampilkan tindakan berdoa kepada Allah padahal
mereka lari dari Allah swt.
· Mereka menampakkan ketakutan terhadap Allah padahal mereka
merasa dirinya aman dari siksa Allah.
· Mereka berdzikir kepada Allah tetapi sebenarnya mereka
lupa dengan-Nya.
· Mereka merasa dekat dengan Allah padahal mereka jauh
dari-Nya.
· Mereka mencaci sifat-sifat tercela sedangkan sifat itu
dipakai oleh diri mereka.
· Mereka menampakkan seakan-akan tidak butuh makhluk, namun
hatinya ambisius agar manusia mengerumuninya.
Seandainya mereka dihalangi dari majelis-majelisnya di mana
manusia berdoa kepada Allah di sana, dunia terasa sempit baginya.
Mereka menyangka melakukan kebajikan kepada manusia, namun
seandainya ada orang lain lebih dahulu tampil dan berhasil dihadapannya, ia
merasa gelisah dan dengki. Bila ada sebagian sahabatnya yang memuji orang lain
yang kontra padanya, ia bersikap emosi kepada sahabatnya itu.
Mereka itu adalah kalangan yang benar-benar terkena
tipudaya, dan jauh dari peringatan serta kembali pada jalan yang benar.
KelompokKetujuh:
Mereka beralih orientasi dari kewajiban prioritas dalam
nasihat. Mereka adalah penasihat-penasihat zaman ini yang menyimpang, kecuali
penasihat yang dilindungi oleh Allah swt. Mereka menekuni ketaatan, melakukan
ekstase dan mengutip wacana-wacana dari aturan undang-undang syari’at dan
keadilan, semata-mata agar dikagumi. Kelompok lain malah menggunakan kata-kata
yang indah, dengan tujuan menciptakan sajak-sajak dan agar disaksikannya
perasaan-perasaan bertemu dan berpisah dengan Tuhan.
Orientasi mereka agar dalam majelisnya ada semacam ekstase,
walaupun dengan tujuan-tujuan yang destruktif Mereka sebenarnya adalah
syetan-syetan manusia yang tersesat dan menyesatkan. Bila kelompok-kelompok di
atas tidak introspeksi diri, toh masih ada orang lain yang mengoreksi dan
meluruskan tindakan mereka.
Namun untuk kelompok terakhir ini mereka justru menghalangi
jalan Allah, dan menyeret manusia pada tujuan-tujuan dan tipudaya kepada Allah
dengan wacana-wacana penyimpangan, semata demi kemaksiatan dan kecintaan
duniawi. Apalagi jika penasihat tersebut dihiasi dengan pakaian kebesayan dan
penampilan, mereka berpidato di hadapan manusia agar selalu patuh, berharap
rahmat kepada Allah swt., hingga mereka yang mendengarnya pun malah putus asa
terhadap rahmat Allah swt.
Kelompok Kedelapan:
Mereka menerima ucapan ahli-ahli zuhud dan kisah-kisahnya
dalam mencaci dunia, lantas mereka mengulanginya menurut apa yang telah
dihafalnya tanpa menguasai makna sebenarnya. Salah seorang dari mereka lantas
berdiri di atas mimbar memberi nasihat kepada orang lain, dan yang lain memberi
nasihat di pasar-pasar sambil mengobrol ke sana-ke mari. Mereka menduga dirinya
akan selamat di hadapan Allah, mendapat ampunan dengan menghafal ucapan ahli
zuhud sementara amalnya sendiri kosong. Tentu mereka ini lebih dahsyat
terpedayanya dibanding sebelumnya.
Kelompok Kesembilan:
Mereka menenggelamkan waktu-waktu mereka dalam bidang ilmu
hadis, yakni dalam penyimakan hadis dan seluruh riwayatnya yang banyak. Mereka
mencari-cari sanad-sanad yang asing dan tinggi. Hasrat mereka agar bisa
berkeliling negeri dan meriwayatkan dari para syeikh, untuk selanjutnya ia bisa
mengatakan, "Saya meriwayatkan dari Fulan, dan saya bertemu Fulan, saya
mempunyai sanad-sanad yang tidak dimiliki orang lain."
Tipudaya yang melanda mereka ini dari berbagai segi, antara
lain mereka seperti pembawa buku. Mereka tidak berkonsentrasi untuk memahami
Sunnah dan merenungkan artinya, namun terbatas pada penukilan. Mereka menduga
tindakannya itu sudah cukup, Sungguh jauh! Bahkan tujuan mempelajari hadis dari
segi makna dan pemahamannya sirna begitu saja. Pertama-tama mempelajari hadis
itu adalah mendengarkan, kemudian menghafal, lantas memahami, selanjutnya
mengamalkan, baru menyebarkan. Mereka hanya membatasi diri mendengarkan
kemudian tidak bisa membuat keputusan hukum dari ilmunya itu. Manakala tidak
ada gunanya dengan pembatasan kerja mereka seperti itu, sementara hadis pada
zaman ini bisa dibaca oleh anak-anak, mereka terpedaya dan alpa. Sementara
syeikh yang membacakan hadis pun kadang-kadang lupa, sampai hadisnya bertumpuk
namun tidak mengerti. Si murid bisa jadi tertidur ketika syeikh meriwayatkan
hadis, dan sang syeikh tidak tahu ketika murid itu tidur.
Semua itu merupakan tipudaya. Prinsip dalam penyimakan hadis
adalah mendengarkannya dari Rasulullah saw, lantas menghafalnya dan
menyampaikannya sebagaimana adanya. Riwayat itu lahir dari hafalan, dan hafalan
lahir dari penyimakan. Bila penyimakannya lemah dari Rasulullah saw, ia bisa
mendengarkan atau menyimak dari sahabat atau tabi’in, sehingga sima’nya dari
mereka seperti penyimakannya dari Rasulullah saw. Ia harus memperhatikan dan
menghafal sebagaimana para sahabat dan tabi’in menghafal, sehingga tak satu
huruf pun yang dilalaikan. Seandainya ragu ia tak berhak meriwayatkannya atau
mengajarkannya. Dan ia harus menyalahkan bilamana ada kesalahan.
Penghafalan hadis bisa melalui dua metode. Pertama, melalui
hati dengan cara kontinyu dan mengingat-ingat. Kedua, melalui penulisan apa
yang didengar dan pentashihan apa yang tertulis, dan kemudian menghafalnya agar
tidak ada tangan yang mengubahnya. Dalam hal ini hafalannya tertumpu pada kitab
atau buku hadis, seharusnya buku-buku tersebut tersimpan rapi dalam
perpustakaan dan terjaga agar tidak diubah orang lain. Ia tidak boleh menulis
penyimakan yang dilakukan anak-anak, orang yang lupa dan orang yang tidur.
Seandainya itu boleh, pasti penyimakan anak-anak boleh ditulis ketika dalam
ayunan.
Dalam penyimakan hadis memang ada syarat-syarat yang cukup
banyak. Tujuan mempelajari hadis adalah mengamalkan dan mengetahuinya. Hadis
memiliki pemahaman yang banyak sebagaimana al-Qur’an. Riwayat dari Abu Sufyan
bin Abul Khair al-Munhy, bahwa dirinya hadir dalam majelis Zahir bin Ahmad
as-Sarkhasy. Hadis pertama yang diriwayatkannya adalah sabda Nabi saw.:
"Di antara kebajikan Islamnya seseorang adalah
meninggalkan apa yang tak berguna".
Lantas ia berdiri dan berkata, "Ini sudah cukup bagiku
hingga aku menuntaskan, kemudian barulah aku menyimak yang lain." Demikian
itu merupakan penyimakan yang sebenarnya.
Kelompok Kesepuluh:
Mereka menekuni di bidang ilmu nahwu dan bahasa serta syair
dan bahasa-bahasa langka. Mereka terpedaya di sini, karena menduga disiplin
ilmunya bisa menyelamatkannya. Mereka merasa sebagai ulama ummat. Karena
tegaknya agama dan Sunnah itu disertai ilmu nahwu dan bahasa. Lantas mereka
tenggelam dalam bidang tersebut. Sungguh ini keterpedayaan yang besar. Kalau
mereka berpikir pasti mereka tahu bahwa bahasa Arab itu seperti juga bahasa
Turki. Orang yang mencurahkan hidupnya untuk bahasa Arab seperti orang lain
yang mendalami bahasa Turki, India dan yang lainnya. Mereka hanya dibedakan
adanya syari’at saja. Padahal bidang bahasa adalah untuk mengenal ilmul gharib
dalam Kitab dan Sunnah. Dan dari segi nahwu ada yang berkaitan dengan Kitab dan
Sunnah, sementara mendalami secara ekstrem sampai pada frekuensi tak terbatas
adalah sikap berlebihan yang tidak perlu dilakukan. Pakar dalam hal ini
sebenarnya terkena tipudaya.
Sumber :hilmanmuchsin.com/2009/05/tipu-daya-yang-menimpa-ulama.html
<< Beranda